Jalan-jalan Ke Semarang

                                                                  Stasiun Tawang

Tulisan ini diawali dengan foto Stasiun Tawang yang tidak lengkap hehe..Saya lupa persisnya kapan, tapi pada Februari 2013. Sudah lama sekali saya ingin ke Semarang, namun tidak punya kesempatan ke sana. Pada masa masih menjadi wartawan pun, saya tidak pernah ditugaskan ke sana. Saya cerita ke suami, bahwa saya ingin sekali ke Semarang. Suami saya bertanya, "kenapa pengen ke Semarang?" Saya hanya menjawab kayanya Semarang itu klasik sekali, terkesan antik, Jowo sekali, dan ga tau lah pokonya pengen ke Semarang. Oiya, sebelum itu, saya pernah melakukan perjalanan ke Surabaya dengan teman dan melewati Semarang yang terlihat klasik walaupun sekilas, yah bikin saya tambah 'ngebet' ingin ke Semarang. Akhirnya Saya dan suami liburan singkat berangkat Sabtu malam dan pulang minggu sore. Menggunakan kereta malam (saya lupa jenis pemberangkatan keretanya dan jam berangkatnya). Yang saya ingat tiba pukul 04.30. Kemudian kami solat subuh dan menunggu agak 'terang' untuk memulai acara jalan-jalan. Foto yang saya ambil itu, menunjukkan pukul 05.00 WIB dan saya sangat suka sekali melihat jam yang terlihat kuno namun masih berdetak seiring jaman. Suasana di stasiun Tawang pun, saya sangat suka. kesannya klasik, mengingatkan pada tempo dulu (halah mulai lebay). Sebelum berangkat ke Semarang, teman saya bilang ke saya katanya kalau musim hujan jangan naik turun kereta dari stasiun Tawang, soalnya sering terkena banjir. Ya, Semarang dekat dengan laut dan kawasan Tawang dan kota Tua Semarang sangat rawan teraliri air rob yang menimbulkan banjir. Nah, begitu agak terang, sekitar pukul 05.30, saya dan suami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Setelah tanya-tanya, jarak dari stasiun Tawang ke Semarang kota lumayan jauh, lebih baik menggunakan becak atau taksi. Saya dan suami lebih memilih berjalan kaki karena ingin menikmati kota tua Semarang, mumpung masih pagi hari. Sayang, saya tidak mengabadikan gambar stasiun Tawang dari depan dan suasana kota tua. Stasiun Tawang bangunannya megah dan sangat khas arsitektur meneer-meneer Belanda. Di depan stasiun Tawang, terdapat taman yang terdapat kolam penampungan air atau bendungan kecil tepatnya. Sayang, bau tak sedap membuat kacau suasana batin hehe. Bagaimana tidak berbau, konon air itu berasal dari air laut yang berbau amis. Padahal pemandangan stasiun Tawang hingga ke kota Tua sangat unik kental dengan aristektur jadul, namun kurang terawat dan berbau. Bangunan tua nampak lapuk, bahkan di beberapa ruas jalan tergenangi air yang baunya, masya Allah langsung tobatan nasuha. Sayang suasana kota tua Semarang tidak menghadirkan aura keceriaan kayanya malah lebih pas untuk uji nyali. Sekilas, format bangunan kota tua Semarang tidak jauh berbeda dengan kota tua Jakarta. Sayang, saya tidak mengunjungi gereja Blendug, padahal ingin sekali. Katanya di kota tua itu, tapi kami tidak menemukan. Ini mungkin efek bau dari genangan air yang memecah konsentrasi, oh my god.
Karena suasana pagi, jalanan masih sepi dan cuaca belum terik, maka walopun belum mandi ya asik aja. Kami pun, sarapan lumpia Semarang. Kemudian melanjutkan perjalanan hingga menuju Museum Lawang Sewu. Tanpa terasa, kami berjalan dari pukul 05.30 hingga pukul 09.30 dan mulai terasa panas. Maka selain keringetan, betis dan kaki pun mulai 'nyut-nyutan' tersadar kami berjalan jauh sekali. Sambil meluruskan otot-otot kaki dan menurunkan pembengkakan betis, kami duduk di warung sebelah Museum Lawang Sewu. Kami memesan teh tawar dan makan nasi mangut. hmm..mangut makanan khas Semarang dengan ikan menggunakan kuah, saya sendiri ga tau ikan jenis apa. Rasanya enak, agak-agak pedas, namun tidak bau anyir. Ibu penjaga warung pun terkaget-kaget mengetahui kami berjalan kaki dari stasiun Tawang ke museum Lawang Sewu. Ko iso? ya iso bu, wong aku atlet panjat genting hehehe...
Nah..jam 10, kami ke Museum Lawang Sewu. Banyak yang bilang "belum ke Semarang kalo belum ke Museum Lawang Sewu". Dengan membayar tiket (aduh lupa berapa, pokonya ga mahal, harga terjangkau) kami ditemani dengan pemandu yang berseragam batik. Jadi kalau mau ke Lawang Sewu ga usah riset dulu, udah dateng aja nanti juga dikasi tau sejarahnya. Berdasarkan sejarah, museum Lawang Sewu merupakan kantor kereta api Belanda yang pernah juga menjadi kantor Jawatan Kereta Api Indonesia. Kemudian Lawang Sewu pernah menjadi Kantor Kodam IV Dipenogoro. Museum Lawang Sewu terletak di depan Tugu Muda. Konon Tugu Muda itu sebagai simbol dari pegawai KAI yang saat itu berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Museum Lawang Sewu pun menjadi saksi terbunuhnya orang-orang yang berusaha mempertahankan kemerdekaan. Sayang museum Lawang Sewu kehilangan banyak pintu, maka lebih banyak menjadi lorong-lorong. Museum Lawang Sewu merupakan nama karena museum tersebut merupakan diidentikkan berpintu seribu.
Sayang, museum Lawang Sewu yang memiliki nilai historis tinggi namun akibat arus modernisasi, museum Lawang sewu dikenal sebagai lokasi syuting dan uji nyali yang berbau goib. Harusnya museum Lawang Sewu menjadi monumen untuk mengingat sejarah bangsa ini yang lebih berharga ketimbang nilai komersil yang mengangkat kemistisan gedung itu. Walaupun begitu, tak dapat dipungkiri, karena gedung tua, suasananya agak-agak 'horor'. Suami saya, beberapa kali terlihat bulu kuduknya berdiri karena melihat dan merasakan sesuatu. Saya sendiri tidak merasakan apa-apa tetapi auranya memang lain. Ya, asal tidak lepas berzikir, insya Allah aman.

                 
                              Salah satu lorong pintu Museum Lawang Sewu

                      Tampak depan salah satu gedung di Lawang Sewu

     Salah satu bangunan dalam Museum Lawang Sewu yang kehilangan banyak pintu

Setelah puas, jalan-jalan ke Lawang Sewu, kami pun ke tempat pijat refleksi, to the rempong soalnya. Setelah pijat chek in hotel, solat dan mandi. Kami pun bersemangat memulai jalan-jalan lagi. Sayang ketika, kami menuju museum Ronggowarsito, museumnya sudah tutup. Maka kami pun segera menuju klenteng Sam Poo Kong. Konon klenteng Sam Poo Kong merupakan tempat persinggahan Laksamana Tiongkok Ceng Ho yang beragama Islam. Walaupun ada pemandu, saya tidak begitu banyak menyerap informasi, apa mungkin karena kelelahan dan juga terkesima dengan klenteng Sam Poo Kong yang indah. Namun, ada satu hal yang saya ingat, di bagian bawah klenteng seperti terdapat ruang bawah tanah yang terdapat tasbih berukuran besar tergantung. Konon tempat itu, tempat Ceng Ho berzikir. Klenteng juga di bagian belakang diisi dengan pahatan yang secara tersirat menceritakan sejarah Ceng Ho dalam perjalanan ke Indonesia. Klenteng ini digunakan pula untuk beribadah bagi penganut Konghucu. Maka walaupun banyak yang singgah untuk wisata namun banyak pula yang datang untuk beribadah. Apabila ingin masuk ke dalam Klenteng khususnya tempat yang dijadikan tempat ibadah, maka harus membuka alas kaki. Klenteng Sam Poo Kong ini didirikan berdasarkan 'urunan' masyarakat Tionghoa di Semarang khususnya untuk mengenang Laksamana Ceng Ho. Tempat ini sangat layak untuk disinggahi bagi Anda yang hendak jalan-jalan ke Semarang.

                                         Satu Sisi Klenteng Sam Poo Kong

 
                                          Patung besar Laksamana Ceng Ho

                                   Klenteng Sam Poo Kong tampak depan

    Ornamen yang menunjukkan Laksamana Cheng Ho menyebarkan ajaran Islam





Komentar

Postingan Populer