Su Ke Jayapura...

                                           

Kemarin-kemarin sudah sharing tentang Semarang, kali ini saya akan cerita pengalaman saya ke Jayapura, ibukota provinsi Papua yang letaknya paling timur Indonesia. Dulu ketika jaman masih duduk di bangku SD, Saya pernah mengkhayal bisa ke Irian Jaya (dulu Papua bernama Irian Jaya. Penamaan Papua diganti pada masa pemerintahan Gus Dur dengan tujuan mengembalikan harkat masyarakat Papua dengan lebih baik). Kalau lihat di TV, orang Irian hitam dan berambut keriting, tapi kayanya jauh sekali untuk bisa bertemu mereka, saya yang tinggal di Bandung saat itu. Tapi, lagi-lagi hidup adalah kejutan..Saya mendapat kesempatan bisa ke Papua (walaupun hanya ke Jayapura, belum ke Raja Ampat, Wamena) hingga tiga kali untuk sebuah pekerjaan dan saya sangat mensyukuri dan menikmatinya. 
Penerbangan dari Jakarta ke Jayapura memakan waktu 8-10 jam dengan 2 kali transit, biasanya, transit di Bali (Bandara Ngurah Rai) dan di Timika (Bandara Mozes Kilangin). Atau bisa juga transit di Makasar (Bandara Sultan Hasanudin) dan di Biak Numfor (Bandara Frans Kaisepo). Berhubung pesawatnya Garuda, hehe waktu 8 jam bisa dipakai untuk makan. Karena bisa makan sampai 3 kali. Atau bisa nonton video, mendengarkan musik di masing-masing kabin tempat duduk penumpang. Pertama kali sampai ke Bandara Sentani di Jayapura. Saya suka sekali melihat pemandangan tropis langit biru (jarang keleus lihat langit biru di Jakarta, polusinya sudah terlalu banyak), banyak pohon-pohon hijau, walaupun cuaca agak panas tapi saya bersemangat sekali. Pertama kali ke Jayapura pada November 2011, saat itu bandara Sentani masih berantakan. Toiletnya parah sudah selot pintunya tidak ada, air berceceran sehingga toliet menjadi becek. Masuk bandara, ga kaya bandara kaya masuk terminal. Namun terakhir saya ke Jayapura pada April 2013, bandara Sentani sudah nampak lebih baik karena sudah ada renovasi. Bandara Sentani dinamakan sesuai dengan Danau besar di Jayapura yang bernama Sentani. Sejak tahun 2007, setiap tahunnya diselenggarakan festival Danau Sentani yaitu festival budaya Papua. Sayang tiga kali ke Jayapura, pas tidak bertepatan dengan event Danau Senatani. Di pinggir Danau Sentani, terdapat tempat makan khas Papua. Salah satu makanan khas Papua adalah papeda. Papeda terbuat dari sari perasan air sagu yang bentuknya seperti lem karena lengket. Makannya tidak bisa dikunyah harus ditelah dengan ikan kuah kuning. Pertama kali mencoba, geli rasanya, saya takut menggigit papada karena takut lengket di gigi, tapi bingung gimana harus menelan papeda. Makan papeda harus diambil menggunakan garpu kayu besar digulung, kemudian menelan bersama ikan kuah kuning. Pengalaman yang seru, saya mau makan papeda banyak tertawanya karena penasaran dan makan hanya ditelan jadi ga terasa rasa sagunya.
Pertama sampai Jayapura, saya kira masih ada warga yang menggunakan koteka atau rumbai. Ternyata, di Jayapura sudah modern seperti kota besar pada umumnya. Tidak ada yang menggunakan koteka atau rumbai. Namun menurut informasi, warga yang menggunakan pakaian adat tersebut masih banyak ditemukan di Wamena, pegunungan Jayawijaya dan daerah pegunungan di Papua. Jayapura sendiri sudah terdapat mall. Mau mencari ayam goreng tepung khas bule (jangan menyebut merk yah hehe) juga bisa ditemui, sampai gerai donat khas negara paman Sam pun ada. Tapi ada kebiasaan warga Papua yang masih banyak dijumpai di Jayapura yaitu bibir merah. Pakai lipstik? bukaaann..kebiasaan orang Papua memakan buah pinang. Makan pinang menjadi kebiasaan orang Papua, makanya gigi orang Papua kuat dan sehat konon karena memakan buah pinang. Saya pernah mencobanya, namun tidak kuat rasanya pahit sekali. Kebiasaan memakan pinang ini tidak kenal umur, dari anak-anak sampai tua, laki dan perempuan. Buah pinang banyak dijual di pasar dan menjadi komoditas yang cukup menguntungkan bagi pedagangnya. Namun, dampak negatifnya di jalan-jalan sering dijumpai bercak berwarna merah buangan ludah memakan pinang. Maka, di beberapa tempat, tertulis larangan memakan pinang (supaya ga rempong membersihkan lokasi yang terkena cipratan sehabis makan pinang).
Mau beli oleh-oleh khas Papua, dapat ditemui di pasar Hamadi. Patung khas Wamena yang keren, rumah honai kecil, tifa, koteka, dan buah tangan khas Papua ada di Hamadi. Tapi jangan kaget ya, kalau kios-kios di pasar Hamadi bukan dimiliki oleh orang Papua tetapi oleh orang-orang Bugis. Ya, ini ironis di beberapa tempat pemerintahan hingga tempat perdagangan jarang dijumpai masyarakat Papua yang mendominasi. Ini menjadi salah satu masalah Papua dalam era otonomi khusus. Bersyukur sekali, era reformasi, terdapat upaya penegakan harkat dan martabat bagi warga Papua.Walaupun pembangunan di Papua masih belum berjalan dengan baik.Sehingga masih ada kesempatan bagi warga Papua untuk maju.
Saya pernah bertanya secara acak kepada warga Papua, bagaimana pandangan mereka terhadap aparat keamanan? sebagian besar menjawab ketakutan, namun ada juga yang menjawab sebel. Ya, pemberlakuan daerah operasi militer di masa lalu belum dapat melumpuhkan trauma warga Papua. Hingga saat ini pun, kondisi keamanan di Papua belum sepenuhnya kondusif. Mengunjungi sekolah-sekolah di Papua, seringkali kekurangan tenaga guru. Bagaimana dengan puskesmas? sama juga, masih kekurangan tenaga medis. Semoga saja ke depan, pembangunan Papua setara dengan pembangunan di pulau Jawa. 
Mudah-mudahan lain waktu saya mendapat kesempatan lagi bisa ke Papua dan mudah-mudahan tidak hanya di Jayapura, tetapi juga daerah lain di Papua, pasti menyenangkan sekali. Saya masih terkenang ketika datang ke suatu komunitas warga Papua yang disambut dengan teriakan serempak "wah...wah ..wah". Awalnya saya kaget, namun itu berupa sambutan dari warga Papua bagi tamu yang datang. Wuaah Papua keren banget lah, really love Indonesia.

                                                                    Danau Sentani

                                              Kota Jayapura dari ketinggian

                                                                       Papeda

      Himbauan di Puskesmas agar orang tua membawa bayinya untuk diimunisasi





Komentar

  1. Pariwisata, seni,dan budaya Indonesia masih banyak yang terpendam, padahal nyatanya betul-betul lebih bagus dan indah dari belahan dunia lain bukan chauvinisme hehehehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer