Perjalanan ke Aceh

                                                        Masjid Baiturrahman

Sudah lama sekali, saya ingin ke Aceh. Suami saya beberapa kali tugas ke Aceh, 6 bulan pasca tsunami hingga 6 kali setiap tahunnya. Entah kenapa, saya ingin sekali ke Aceh dan bertepatan suami pun kangen dengan teman-teman yang pernah ditemuinya di Aceh. Singkat cerita, kami memutuskan ke Aceh bertepatan dengan jadwal kami yang kosong sekalian saya memberikan materi presentasi untuk adik-adik SMA di Sekolah Islam Terpadu Fajar Hidayah, Aceh Besar.
Kalau ingat Aceh, ada 3 hal di benak saya yang pertama: masjid Baiturrahman, konflik Aceh dengan GAM dan yang terakhir bencana tsunami dahsyat tanggal 26 Desember 2004. Saya ingat sekali, tahun 2004, saya menjadi penyiar di radio pemerintah dan mendengar siaran tentang bencana tsunami. Setiap hari pasca tsunami hingga dua bulan berturut-turut berita tentang tsunami Aceh menghiasi media. Namun, media televisi yang paling menyayat karena dapat menampilkan gambar-gambar kejadian dan pasca tsunami. Di saat Aceh, tengah melakukan rekonstruksi pembangunan yang mendapatkan banyak bantuan dari negara-negara  ataupun lembaga internasional, tahun 2005, proses perundingan RI dan GAM mulai berlangsung. Alhamdulillah, RI dan GAM memilih opsi damai melalui serangkaian negosiasi yang tidak mudah. Mengapa tidak mudah? ya karena menggabungkan berbagai kepentingan, seperti pihak RI melarang pengibaran bendera GAM pasca penandatanganan perdamaian, sementara GAM menuntut pada pemerintah RI mengizinkan pembentukan partai lokal. Maka sudah dua periode ini, Aceh dipimpin oleh gubernur yang berasal dari partai lokal Aceh. Aceh merupakan medan konflik yang cukup lama dan tentu meninggalkan trauma bagi banyak warga Aceh.
Saya pun tertarik membaca proses perdamaian Aceh karena bertepatan memegang mata kuliah Studi Perdamaian. Selama ini, yang saya tahu, metode perdamaian di negara-negara konflik lain. Namun, untuk Indonesia dengan contoh kasus upaya perdamaian yang berhasil adalah di Aceh. Menurut Prof. Johan Galtung, pakar peace studies dari Inggris, rekontruksi perdamaian itu ada dua: negative peace dan positive peace. Untuk di Aceh, proses pertama, negative peace terbentuk dengan meniadakan kekerasan melalui penghancuran senjata dengan monitoring Uni Eropa dan berikutnya positive peace melalui perundingan perdamaian untuk menghasilkan perdamaian dalam jangka panjang.
Alhamdulillan Aceh sekarang pelan-pelan mulai membangun semoga menjadi pembangunan yang dapat mensejahterakan rakyatnya. Aceh ini menarik, saya belum pernah mendengar mistis atau kejadian menakutkan pasca tsunami. Mungkin nuansa Islamnya sangat kuat. Maka, saya jadi teringat mengapa Tengku Daud Beureuh begitu kuat ingin memperjuangkan syariat Islam karena tidak lebih dari keinginan masyarakat Aceh yang ingin menjalankan Islam secara kaffah. Walaupun, sejarah tidak berpihak positif terhadap perjuangan Teungku Daud Beureuh. Aceh pun memiliki sejarah perjuangan Islam melalui meunasah dan perlawanan ulama yang kuat berprinsip untuk menjalankan syariat Islam.
Icon Aceh yaitu Masjid Baiturrahman. Masuk dan solat ke masjid Baiturrahman menjadi pengalaman batin karena saya merasakan kemegahan masjid ini.

      Langit-langit di dalam bangunan masjid Baiturrahman yang kaya akan relief

Perjalanan batin kalo saya menamakan perjalanan saya ke Aceh. Bersama rekan-rekan yang sangat bersahabat, saya mengunjungi masjid Baiturrahim. Kedua masjid ini memiliki historis selamat dari amukan tsunami. Subhanallah..Kalau saya dulu punya kesempatan ke Aceh pasca tsunami dan mengunjungi masjid-masjid ini pastinya akan sangat tersentuh dan terharu. Menurut cerita seorang teman, masjid Baiturahim ini dibangun sebagai tempat berkumpul ulama dan umat karena ancaman Belanda yang akan menduduki masjid besar Baiturrahman.
                 

  Masjid Baiturrahim
                                                   
Perjalanan batin pun dilanjutkan dengan mengunjungi makam Syiah Kuala. Kalau ingat Syiah Kuala pasti akan ingatan kepada Perguruan Tinggi Negeri di Aceh yaitu Universitas Syiah Kuala. Syiah Kuala atau dikenal dengan nama Syekh Abdurrauf Singkil (Singkil merupakan nama wilayah di Aceh) yang merupakan ulama besar di Aceh. Menurut riwayat, Syiah Kuala berasal dari Saudi Arabia. Saya berkesemapatan mengunjungi makan Syiah Kuala. Makan Syiah Kuala menjadi cagar budaya yang letaknya hanya beberapa ratus kilometer dari bibir pantai. Ketika tsunami pun, makam ini direndam oleh air bah tsunami. Namun subhanallah makam Syiah Kuala dan para sahabatnya masih utuh berdiri. Sayangnya, saya tidak dapat mengabadikan makam Syiah Kuala karena ada larangan memotret makam. Dalam, makam ini pun tertulis dengan besar larangan solat di dalam masjid. Ketika masuk makam, kami dipandu oleh seorang keturunan Syiah Kuala yang ke-8, seorang bapak paruh baya. Larangan solat di dalam area makam dilakukan agar mengunjungi makam tidak melakukan hal yang berbau syirik. Sebelum memasuki makam, saya sempat was-was karena di pintu masuk tertera untuk perempuan dilarang masuk ke lokasi menggunakan celana. Ketika masuk makam, saya menggunakan sarung. Karena ketidaktahuan saya, apabila masuk makam ulama besar tersebut harus sesuai syariat.
Alhamdulillah bisa mengunjungi Aceh..jangan lewatkan perjalanan ke Aceh bagian dua..


                                            Keterangan di Depan Makam Syiah Kuala
                                                         


                                                                 

Komentar

Postingan Populer