Menghargai Alam
Etika Lingkungan Hidup merupakan judul buku yang ditulis oleh A.Sonny Keraf, mantan Menteri Lingkungan Hidup pada pemerintahan Abdurahman Wahid. Dalam buku tersebut tertulis, persoalan lingkungan hidup merupakan persoalan yang erat kaitannya dengan moral. Hmmm...saya perlu kilas balik. Saya tertarik akan isu lingkungan hidup ketika saya berkerja di radio pemerintah menjadi penyiar dan reporter. Saya harus bertemu dan wawancara dengan banyak orang dengan topik atau isu yang berbeda sehingga saya banyak belajar. Kalau tidak salah, tahun 2005, saya tengah siaran dan melakukan dialog interaktif dengan pemerhati lingkungan hidup di kota Bandung, Bapak Suwarno Darsoprajitno yang mengatakan "alamnya rusak berarti manusianya juga rusak". Ingatan saya mundur ke belakang pada pertengahan tahun 2003, ketika itu saya tengah mempersiapkan sidang skripsi. Saat itu, berita internasional yang menjadi headline yaitu gelombang panas yang terjadi di kawasan Eropa Barat yang menewaskan banyak orang. Singkat cerita, dari berita yang saya baca gelombang panas terkait dengan perubahan iklim. Itulah, awal mula saya memiliki 'sedikit' ketertarikan terhadap lingkungan hidup.
Pengalaman menjadi wartawan mengajarkan saya untuk belajar dan menumbuhkan ketertarikan terhadap isu lingkungan hidup. Ketika menjadi wartawan kerap kali saya meliput kampanye mengenai isu lingkungan hidup. Maka, saya pun semakin tertarik bahwa permasalahan lingkungan hidup di Indonesia dan global merupakan masalah serius untuk umat manusia kini dan di masa yang akan datang. Manusia modern saat ini menghambakan 'materi' sehingga lupa menghargai dan menjaga alam. Paham antroposentris yang menganggap manusia adalah pusat alam semesta, maka alam menjadi bagian eksploitasi untuk kepentingan manusia. Kekayaan alam digunakan untuk pengejaran kemakmuran, maka menjadi alasan kuat bagi negara-negara Eropa melakukan kolonialisme dan imperialisme. Bagaimana, bagi negara yang kaya akan sumber daya alam? Lihat saja, ada engga negara yang kaya sumber daya alam yang menjadi negara kaya? Yang ada menjadi negara tereksploitasi. Maka, menjadi ironis ketika kekayaan alam menjadi 'kutukan' karena menjadi sumber perebutan menjadi lahan konflik dan menimbulkan korban jiwa akibat perang.
Bicara manusia modern, saya teringat ketika diskusi dalam kuliah program master. Dosen yang saya hormati, Dr. Pius Suratman Kartasasmita menjadi pemimpin diskusi di kelas menyodorkan sebuah pertanyaan 'nyentrik' tapi membuat mahasiswanya berpikir kritis: "siapa yang lebih modern? masyarakat modern atau masyarakat adat?" "apa salah masyarakat adat tetap berpenampilan tradisional?" "mengapa kita tidak mampu menghargai masyarakat adat yang memiliki kearifan lokal?" Pertanyaan ketika perkuliahan tersebut terngiang-ngiang ketika tidak lama dari saat itu, saya mengunjungi Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamata Salawu, KabupatenTasikmalaya. Untuk mengunjungi Kampung Naga cukup jauh dan harus melewati banyak anak tangga. Kampung Naga merupakan kampung adat dan tidak meggunakan tenaga listrik. Ketika sampai lokasi, kita akan nyaman dengan pemandangan alamnya yang masih asri. Di antara alur air sungai, terletak di seberang mata air terdapat sebuah hutan yang disebut Hutan Larangan. Hutan Larangan menjadi mitos yang cukup ampuh bagi warga Kampung Naga untuk tidak menginjakkan kaki di hutan tersebut berdasarkan amanat leluhur mereka. Ya, istilah mitos tidak asing untuk telinga kita, mitos seolah hal yang tabu dan misterius. Namun, bagi saya mitos tersebut dilakukan sebagai penghargaan terhadap alam. Mereka hidup di alam bebas, maka mereka menjaga kondisi alam sebaik mungkin. Saya jadi berpikir dan teringat pertanyaan dosen saya: siapa ya yang lebih 'modern' kita atau mereka (masyarakat adat)?
Masyarakat adat umumnya memiliki kearifan lokal. Karena penghargaan terhadap alam sehingga mereka mengenal alam. Saya teringat warga Simeulue, pulau yang terpisah dari provinsi Aceh yang termasuk provinsi Aceh, warganya dapat selamat dari tsunami karena smong. Smong adalah tsunami dalam bahasa Aceh yang dinyanyikan oleh warganya yang diwariskan oleh sesepuh. Nyanyian smong menekankan apabila ada ombak tinggi, maka harus lari ke tempat yang lebih tinggi. Masih banyak lagi kearifan lokal di seluruh Nusantara yang seringkali 'kita' sebagai masyarakat modern kurang menghargai. Padahal belajar dari kearifan lokal, kita dapat mengenal alam.
Lain lagi, dengan pengalaman saya ketika liputan di lokasi tambang. Masyarakat sekitar lokasi hidup dalam garis kemiskinan, namun dieksploitasi oleh pemilik lahan tambang untuk bekerja dengan bayaran murah dan tanpa alat pengaman yang memadai. Pemerintah daerah setempat berupaya melarang kegiatan pertambangan, namun sang pemilik tambang dengan cerdik menjadikan para buruh tambang sebagai tameng dengan dalih usaha tambang ditutup, para buruh tidak lagi memiliki pekerjaan. Ironisnya, pemilik tambang tak tersentuh hukum (padahal dalam Undang-Undang daerah tersebut kegiatannya dianggap melakukan pelanggaran), melakukan eksploitasi terhadap masyarakat miskin dan melakukan ekspoitasi berat terhadap alam.
Logika pemerhati lingkungan hidup dengan pelaku ekonomi tidak akan pernah cocok karena bagi pelaku ekonomi, alam dipandang sekedar sebagai obyek dan dikategorikan 'barang bebas'. Sedangkan pemerhati lingkungan hidup, alam adalah pusat kehidupan semesta. Saya tidak bermaksud membela pemerhati lingkungan hidup, namun alam haruslah dianggap sebagai pusat semesta. Apabila alam dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi, manusia seharusnya tidak egois, harus pula melakukan upaya revitalisasi terhadap alam sebagai warisan untuk anak cucu kelak.
Suatu waktu, saya sedang bertemu dengan teman-teman dan membawa anaknya yang masih balita. Anaknya ingin lihat embek (kambing). Saat itu, sedang di mall. Saya langsung bilang mau liat embek kok ke mall, kan banyak di lembur (desa) juga. Teman saya menjawab, di sini (di sebuah mall) ada kok. Betapa kagetnya, sebuah mall terdapat arena buatan seperti peternakan kambing dan sapi. Tapi, buat saya lebih bagus lihat peternakan aslinya daripada buatan. Nah, ini yang saya takutkan mungkin di masa depan kita tidak lagi dapat melihat lahan pertanian, perkebunan bahkan mungkin hutan yang hijau. Mungkin saja, untuk melihat semua itu, harus membayar dengan harga mahal.
Ketika, hutan terakhir ditebang, ketika sungai terakhir mengering, ketika ikan terakhir ditangkap, saat itu manusia akan sadar tidak dapat memakan uang.
Komentar
Posting Komentar