Perubahan Iklim dari Sudut Pandang Siapa?
Lahan Gambut mengering Akibat Kebakaran Lahan Tahun 2015 di Pulang Pisau, Kalteng
Baru beberapa jam di tahun baru 2017 ini, Saya berniat untuk menambah dan meningkatkan produktivitas karya, salah satunya melalui blog ini. Kebetulan, pada pagi hari ini, saya baru saja menonton film dokumenter produksi National Geographic berjudul 'Before The Flood' yang dalam film itu didominasi dengan kehadiran Leonardo Di Caprio. Dalam film dokumenter tersebut, Leo tidak sedang berakting, tetapi melakukan wawancara dengan beberapa ilmuwan, kelompok sosial kemasyarakatan mengenai isu perubahan iklim. Leo, begitu panggilan akrabnya (kalo lihat beberapa orang menyapa dirinya dalam film dokumenter tersebut) memiliki peran strategis sebagai Climate Change Campaigner oleh PBB. Maka film dokumenter tersebut memperlihatkan scene awal mengenai Leo hadir dalam sidang PBB, berbincang dengan Sekjen PBB Ban Ki Moon hingga memberikan pidato mengenai perubahan iklim dalam sidang PBB. Video lengkapnya dapat disimak di https://www.youtube.com/watch?v=Q97k20e1FTE
http://dogwithblog.in/how-leonardo-dicaprio-is-saving-planet-earth/
Pertanyaan nakal: Kenapa nonton film dokumenter yang ada Leo? nge-fans ya sama Aa Leo? Sorry to say, I`m not your fan, Leo. Tapi jaman SMA masih alay-alay gitu memang lah ngeceng Aa Leo lewat filmnya, tapi itu dulu sebelum jaman pencerahan hahaha. Ok, serius lagi ah karena isu ini serius. Saya menonton film dokumenter itu karena ketertarikan saya akan isu perubahan iklim. Bagi saya, perubahan iklim nyata dan dampaknya mengancam kehidupan umat manusia. Memang, manusia juga lah yang melakukan kerusakan lingkungan hidup, maka saat ini kerusakan lingkungan membawa dampak berupa bencana alam di mana-mana dan lagi-lagi manusia lainnya yang menderita. So, this is absolutely serious humanity`s problem.
Film dokumenter itu memang keren mengungkap fakta mengenai perubahan iklim dan jalan cerita begitu kompleks sehingga permasalahan perubahan iklim terkait dengan politik ekologi maupun politik global. Namun, tentu saya mengkritik film tersebut. Pertama, pemilihan sang juru kampanye perubahan iklim yang merupakan aktor terkenal seperti Leo, dan Leo yang mendominasi dalam film tersebut nampak menggunakan kacamata Barat memandang sebuah isu yang disebut sebagai post colonial. Dalam film tersebut seolah lupa atau melupakan bagaimana Amerika Serikat sebagai emiter atau penghasil karbon terbesar di dunia. Walaupun sedikit diulas, dalam film tersebut seorang scientist yang mendapat ancaman karena argumentasi mengenai perubahan iklim adalah hal yang nyata yang mendapatkan tentangan dari senator di Amerika Serikat. Sebagian besar politisi di Amerika Serikat menganggap perubahan iklim seakan mitos dan tidak terbukti. Apalagi Presiden terpilih Donald Trump dalam berbagai pernyataan menganggap isu perubahan iklim is nothing. Hal tersebut tidak lain karena politis akibat pengaruh kelompok bisnis atau perusahaan multinasional yang kekuatan politiknya mampu menguasai peta politik di parlemen. That`s it, it`s not enough to emphasize that your country (The US) has the biggest contribution the heat of global warming.
Kemudian di film tersebut mengungkapkan negara-negara middle income countries yang termasuk dalam kategori negara-negara berkembang. Pertama, film tersebut menyoroti China. Kondisi pencemaran udara di China yang demikian parah cukup menganggu kehidupan warganya. Maka, perubahan iklim tidak hanya sebagai wacana, bagi China sudah menjadi bagian keseharian karena dampaknya sudah terasa. Apakah China diam saja? Tentu tidak. Pada tahun 2006, China telah mengeluarkan dokumen mengenai perubahan iklim sebagai kebijakan untuk menghadapi dampak perubahan iklim. Tahun 2013, China mengeluarkan Strategi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim. Bahkan, China memasang target penggunaan energi terbarukan meningkat hingga 15% pada tahun 2020. Nah, dalam film dokumenter tersebut, diperlihatkan bagaimana China tengah membangun teknologi ramah lingkungan salah satunya menggunakan solar panel.
Sorotan dalam film tersebut kemudian mengarah ke India. India dengan kepadatan populasinya yang tinggi tingkat kemiskinannya disorot karena tidak ramah lingkungan. Karena India masih menggunakan batubara sebagai sumber enrgi yang menghasilkan karbon pekat sementara di sisi lain penggunaan batubara lebih efisien dan terjangkau sebagai sumber energi berharga murah. Berikutnya, Indonesia, terutama film itu diarahkan ke wilayah Sumatera yang mengangkat isu kebakaran hutan dan lahan akibat meningkatnya industri sawit. Maka mengancam spesies yang hidup di hutan dan lahan tersebut. Selain itu, film ini juga menyoroti negara kepulauan kecil seperti Kiribati, Tuvalu yang rawan tenggelam akibat peningkatan air laut yang telah menenggelamkan beberapa kawasan.
Di satu sisi, negara-negara berkembang yang disebutkan di atas merupakan penghasil emisi dan juga korban dampak perubahan iklim, terutama untuk kelompok miskin. Namun, film tersebut tidak berimbang untuk memperlihatkan bagaimana pemanasan global saat ini berlangsung begitu cepat akibat industrialisasi dan gaya hidup warga Amerika Serikat yang turut menyumbang terhadap emisi yang terbesar di dunia. Film tersebut memberikan pengetahuan mengenai perubahan iklim dipandang secara ilmiah, politis dan (sedikit) isu sosial, namun sudut pandang pos kolonial dalam film tersebut hanya memandang negara-negara berkembang memiliki 'dosa' sementara dirinya sebagai negara kuat hadir sebagai campaigner perubahan iklim melalui figur Leo dan film ini.
Maka, saya hanya mau bicara 'keadilan iklim', sudah cukuplah politik global selama ini bermain-main dengan perubahan iklim. Protokol Kyoto saja gagal total. Apa penyebabnya? Karena negara-negara besar termasuk Amerika Serikat tidak mau meratifikasi Protokol Kyoto. Sekarang sudah hadir, Persetujuan Paris pada tahun 2015 lalu yang menggantikan Protokol Kyoto. Yang anehnya, negara-negara berkembang pun diminta untuk mengurangi emisinya dalam jumlah besar agar tercapai target menjaga ambang suhu bumi di bawah dua derajat celcius. Saya tidak mengatakan kesepakatan tersebut tidak baik, tentu sangat baik. Tetapi permasalahannya, negara-negara maju tentu harus menurunkan emisi lebih besar dibanding negara berkembang. Ko, ini malah negara maju dan negara berkembang sama-sama memikul beban yang sama, sementara negara-negara berkembang akan tetap jalan di tempat dan cenderung akan tetap tertinggal dibanding negara-negara maju. Maka, KEADILAN IKLIM menjadi hal penting untuk diperjuangkan bagi negara-negara berkembang, terutama untuk Indonesia.
Komentar
Posting Komentar