Memandang Imigran dari Kacamata Moral dan Kemanusiaan


 Ica Wulansari

‘Jika kita memulai upaya untuk bertahan, kita harus segera melihat perdamaian sebagai syarat utama untuk kondisi manusia itu sendiri’. (Johan Galtung, 1995)
Cuplikan di atas merupakan pernyataan Profesor Johan Galtung yang merupakan pakar studi perdamaian. Sejalan dengan isu perdamaian, saat ini perhatian dunia terpusat pada kebijakan Presiden Amerika Serikat yang baru saja dilantik, Donald Trump. Presiden Trump mengeluarkan kebijakan yang tidak populer terkait dengan larangan masuk terhadap warga dari tujuh negara di antaranya Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman. Hal tersebut tidaklah mengejutkan apabila terkait dengan pernyataan-pernyataan Trump pada saat kampanye politik yang menyiratkan kebijakan anti imigran ke negara Paman Sam. Namun, tulisan ini tidak akan membahas mengenai kebijakan Trump karena pesan moral mengenai kemanusiaan dan perdamaian menjadi hal yang penting untuk menumbuhkan ‘kemanusiaan’ kita sebagai bangsa dan individu.

Solidaritas dan Panggilan Moral
Tidak perlu menunggu waktu lama, kebijakan Trump tersebut mendapatkan penolakan dari berbagai kelompok masyarakat baik itu di dalam Amerika Serikat maupun dari berbagai negara. Selain itu, berbagai perusahaan multinasional turut pula memberikan dukungan bagi kelompok imigran dan menolak kebijakan Trump seperti Starbuck, Uber, Google maupun Apple. Yang menarik sebagaimana dilansir Kompas.com adalah pendiri Apple, Steve Jobs merupakan keturunan Suriah yang berasal dari sang ayah yang merupakan imigran yang datang ke Amerika Serikat tahun 1950-an. Tidak hanya itu, pendiri Google, Sergey Brin yang berasal dari keluarga imigran dari Uni Soviet.
Dengan prasangka baik, perusahaan multinasional tersebut melakukan kewajiban moral sebagai bentuk penghargaan terhadap hak kelompok imigran yang membutuhkan perlindungan. Perusahaan-perusahaan besar tersebut selayaknya harus melakukan tindakan mendukung imigran di Amerika Serikat mengingat keuntungan yang diraihnya, maka isu-isu menyangkut kemanusiaan seharusnya menjadi salah satu bagian tanggung jawab perusahaan di luar tanggung jawab normatif berbentuk tanggung jawab sosial korporasi atau yang dikenal dengan CSR (Corporate Social Responsibility).
Kelompok pebisnis tersebut menyumbang ‘energi positif’ bagi kelompok masyarakat, organisasi non pemerintah hingga elit politik yang pro terhadap kewajiban moral melindungi kelompok imigran. Walaupun perputaran modal seringkali menjadi prioritas, namun kewajiban moral harus dilakukan karena kritik isu kemanusiaan akibat operasi korporasi tentu akan menjatuhkan citra merek dagang yang sudah dibangun.
Faktanya, kemajuan korporasi dan teknologi tidak hanya dibangun oleh pribumi asli saja, namun kelompok imigran pun turut membangun kemajuan bagi Amerika Serikat. Maka, ‘egoisme’ yang diperlihatkan Trump melalui kebijakannya tengah mempertimbangkan moral untuk kepentingan nasionalnya, dengan minimnya perhatian akan fakta positif imigran. Tidak dapat dipungkiri, imigran tidak hanya membawa dampak positif saja, dampak negatif pun ada. Namun, mengacu dari tujuh negara yang telah dilabeli daftar hitam oleh Trump sebenarnya merupakan korban akibat politik global yang terjadi. Amerika Serikat sebagai polisi dunia merupakan salah satu aktor politik global yang penting. Maka, Amerika Serikat sebagai negara yang besar selayaknya memiliki dan memikul kewajiban moral atas nama kemanusiaan untuk memberi tempat bagi para imigran.
Kemanusiaan Untuk Perdamaian
Permasalahan penolakan terhadap imigran memunculkan dehumanisasi. Sederhananya, dehumanisasi menurut penulis adalah penurunan derajat kemanusiaan pada suatu wacana atau permasalahan. Dehumanisasi terjadi karena pelestarian pola kolonialisme yang digunakan oleh elit politik untuk memberikan legitimasi dan mendapatkan manfaat untuk kepentingannya untuk mempertahankan kekuasaannya. Maka, demi memperkuat kekuasaannya, perspektif kemanusiaan tampak tidak rasional dan hasrat berkuasa menjadi prioritas.
Kebijakan Trump hanya contoh kasus yang faktanya dapat ditemui di berbagai negara mana pun terdapat elit politik yang belum pro terhadap kemanusiaan. Minimnya perspektif kemanusiaan ditandai dengan potensi konflik, kekerasan, hingga konflik horizontal di suatu negara hingga perang di yang terjadi di belahan dunia seperti di Sudan, Suriah dan Irak yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.
Tahun 2015, dunia melihat tragedi kemanusiaan ketika puncaknya pengungsi Suriah membanjiri Eropa. Data dari Lembaga PBB yang membidangi masalah pengungsi-UNHCR tahun 2015, pengungsi Suriah yang memasuki Turki pada Juli 2015 mencapai lebih dari 4 juta orang. Sedangkan, Data UNHCR terbaru pada 19 Januari 2017, pengungsi Suriah yang terdaftar berjumlah mendekati 5 juta orang. Data tersebut menunjukkan bahwa krisis kemanusiaan belum berakhir dan memerlukan dukungan internasional untuk menyudahi krisis tersebut.
Himpitan dan penderitaan perang yang mendorong pengungsi tersebut untuk mencari kehidupan yang lebih baik ke negara lain. Berdasarkan administrasi kenegaraan, pengungsi tersebut menjadi imigran apabila sudah ditetapkan kewarganegaraannya oleh negara baru. Baik pengungsi ataupun imigran sama-sama memiliki sensitifitas isu politik yang dimainkan oleh elit politik.
Pembelajaran untuk Indonesia
Konflik Suriah dapat dijadikan contoh agar Indonesia tidak terjebak dengan konflik sektarian yang kemudian berkembang menjadi perang saudara yang menyisakan tragedi kemanusiaan. Pembelajaran untuk Indonesia adalah kelompok elit untuk senantiasa mengeluarkan kebijakan dan bertindak yang mendukung nilai-nilai kemanusiaan untuk semua. Artinya kemanusiaan yang tidak memiliki sekat baik itu suku, ras, agama, kelompok sosial, kelompok ekonomi, pandangan politik yang berbeda. Hanya dengan kemanusiaan-lah maka keharmonisan sebuah bangsa akan terbangun.
Tidak hanya kelompok elit, sebagai anak bangsa, masyarakat pun perlu bertindak atas nama kemanusiaan untuk mengurangi penggunaan kekerasan. Kekerasan tidak hanya berbentuk fisik, dapat pula berbentuk psikologis berupa pengucilan, penghinaan, hingga pemberian simbol buruk terhadap individu atau kelompok.
Ramainya penolakan terhadap kebijakan anti imigran Trump menyiratkan sebersit harapan bahwa kemanusiaan itu masih ada dan saatnya Indonesia mengambil hikmah dari kejadian tersebut.
Ica Wulansari-Pecinta perdamaian, mahasiswa Doktoral Sosiologi Unpad dan Peraih Beasiswa LPDP 2016

Komentar

Postingan Populer