Memandang Imigran dari Kacamata Moral dan Kemanusiaan
Ica Wulansari
Cuplikan di atas merupakan pernyataan Profesor Johan
Galtung yang merupakan pakar studi perdamaian. Sejalan dengan isu perdamaian,
saat ini perhatian dunia terpusat pada kebijakan Presiden Amerika Serikat yang
baru saja dilantik, Donald Trump. Presiden Trump mengeluarkan
kebijakan yang tidak populer terkait dengan larangan masuk terhadap warga dari
tujuh negara di antaranya Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman.
Hal tersebut tidaklah mengejutkan apabila terkait dengan pernyataan-pernyataan
Trump pada saat kampanye politik yang menyiratkan kebijakan anti imigran ke
negara Paman Sam. Namun, tulisan ini tidak akan membahas mengenai kebijakan
Trump karena pesan moral mengenai kemanusiaan dan perdamaian menjadi hal yang
penting untuk menumbuhkan ‘kemanusiaan’ kita sebagai bangsa dan individu.
Solidaritas
dan Panggilan Moral
Tidak perlu menunggu waktu lama, kebijakan Trump
tersebut mendapatkan penolakan dari berbagai kelompok masyarakat baik itu di
dalam Amerika Serikat maupun dari berbagai negara. Selain itu, berbagai
perusahaan multinasional turut pula memberikan dukungan bagi kelompok imigran
dan menolak kebijakan Trump seperti Starbuck, Uber, Google maupun Apple. Yang
menarik sebagaimana dilansir Kompas.com adalah pendiri Apple, Steve Jobs
merupakan keturunan Suriah yang berasal dari sang ayah yang merupakan imigran
yang datang ke Amerika Serikat tahun 1950-an. Tidak hanya itu, pendiri Google, Sergey
Brin yang berasal dari keluarga imigran dari Uni Soviet.
Dengan prasangka baik, perusahaan multinasional
tersebut melakukan kewajiban moral sebagai bentuk penghargaan terhadap hak
kelompok imigran yang membutuhkan perlindungan. Perusahaan-perusahaan besar
tersebut selayaknya harus melakukan tindakan mendukung imigran di Amerika
Serikat mengingat keuntungan yang diraihnya, maka isu-isu menyangkut
kemanusiaan seharusnya menjadi salah satu bagian tanggung jawab perusahaan di
luar tanggung jawab normatif berbentuk tanggung jawab sosial korporasi atau
yang dikenal dengan CSR (Corporate Social Responsibility).
Kelompok pebisnis tersebut menyumbang ‘energi positif’
bagi kelompok masyarakat, organisasi non pemerintah hingga elit politik yang
pro terhadap kewajiban moral melindungi kelompok imigran. Walaupun perputaran
modal seringkali menjadi prioritas, namun kewajiban moral harus dilakukan karena
kritik isu kemanusiaan akibat operasi korporasi tentu akan menjatuhkan citra
merek dagang yang sudah dibangun.
Faktanya, kemajuan korporasi dan teknologi tidak hanya
dibangun oleh pribumi asli saja, namun kelompok imigran pun turut membangun
kemajuan bagi Amerika Serikat. Maka, ‘egoisme’ yang diperlihatkan Trump melalui
kebijakannya tengah mempertimbangkan moral untuk kepentingan nasionalnya,
dengan minimnya perhatian akan fakta positif imigran. Tidak dapat dipungkiri,
imigran tidak hanya membawa dampak positif saja, dampak negatif pun ada. Namun,
mengacu dari tujuh negara yang telah dilabeli daftar hitam oleh Trump
sebenarnya merupakan korban akibat politik global yang terjadi. Amerika Serikat
sebagai polisi dunia merupakan salah satu aktor politik global yang penting.
Maka, Amerika Serikat sebagai negara yang besar selayaknya memiliki dan memikul
kewajiban moral atas nama kemanusiaan untuk memberi tempat bagi para imigran.
Kemanusiaan
Untuk Perdamaian
Permasalahan penolakan terhadap imigran memunculkan
dehumanisasi. Sederhananya, dehumanisasi menurut penulis adalah penurunan
derajat kemanusiaan pada suatu wacana atau permasalahan. Dehumanisasi terjadi
karena pelestarian pola kolonialisme yang digunakan oleh elit politik untuk
memberikan legitimasi dan mendapatkan manfaat untuk kepentingannya untuk
mempertahankan kekuasaannya. Maka, demi memperkuat kekuasaannya, perspektif
kemanusiaan tampak tidak rasional dan hasrat berkuasa menjadi prioritas.
Kebijakan Trump hanya contoh kasus yang faktanya dapat
ditemui di berbagai negara mana pun terdapat elit politik yang belum pro
terhadap kemanusiaan. Minimnya perspektif kemanusiaan ditandai dengan potensi
konflik, kekerasan, hingga konflik horizontal di suatu negara hingga perang di
yang terjadi di belahan dunia seperti di Sudan, Suriah dan Irak yang belum
menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.
Tahun 2015, dunia melihat tragedi kemanusiaan ketika
puncaknya pengungsi Suriah membanjiri Eropa. Data dari Lembaga PBB yang
membidangi masalah pengungsi-UNHCR tahun 2015, pengungsi Suriah yang memasuki
Turki pada Juli 2015 mencapai lebih dari 4 juta orang. Sedangkan, Data UNHCR
terbaru pada 19 Januari 2017, pengungsi Suriah yang terdaftar berjumlah
mendekati 5 juta orang. Data tersebut menunjukkan bahwa krisis kemanusiaan belum
berakhir dan memerlukan dukungan internasional untuk menyudahi krisis tersebut.
Himpitan dan penderitaan perang yang mendorong
pengungsi tersebut untuk mencari kehidupan yang lebih baik ke negara lain.
Berdasarkan administrasi kenegaraan, pengungsi tersebut menjadi imigran apabila
sudah ditetapkan kewarganegaraannya oleh negara baru. Baik pengungsi ataupun
imigran sama-sama memiliki sensitifitas isu politik yang dimainkan oleh elit
politik.
Pembelajaran
untuk Indonesia
Konflik Suriah dapat dijadikan contoh agar Indonesia
tidak terjebak dengan konflik sektarian yang kemudian berkembang menjadi perang
saudara yang menyisakan tragedi kemanusiaan. Pembelajaran untuk Indonesia
adalah kelompok elit untuk senantiasa mengeluarkan kebijakan dan bertindak yang
mendukung nilai-nilai kemanusiaan untuk semua. Artinya kemanusiaan yang tidak
memiliki sekat baik itu suku, ras, agama, kelompok sosial, kelompok ekonomi,
pandangan politik yang berbeda. Hanya dengan kemanusiaan-lah maka keharmonisan
sebuah bangsa akan terbangun.
Tidak hanya kelompok elit, sebagai anak bangsa,
masyarakat pun perlu bertindak atas nama kemanusiaan untuk mengurangi
penggunaan kekerasan. Kekerasan tidak hanya berbentuk fisik, dapat pula
berbentuk psikologis berupa pengucilan, penghinaan, hingga pemberian simbol
buruk terhadap individu atau kelompok.
Ramainya penolakan terhadap kebijakan anti imigran
Trump menyiratkan sebersit harapan bahwa kemanusiaan itu masih ada dan saatnya
Indonesia mengambil hikmah dari kejadian tersebut.
Ica
Wulansari-Pecinta perdamaian, mahasiswa Doktoral Sosiologi Unpad dan Peraih
Beasiswa LPDP 2016
Komentar
Posting Komentar