Meningkatkan Nilai Tambah Produksi Pala
Biji Pala
Pala
merupakan komoditas yang erat kaitannya dengan masa kolonial. Pala pada awalnya
terkenal dihasilkan di Kepulauan Banda, Maluku. Pada abad ke-17, buah pala di
Banda memikat kaum penjajah untuk memperebutkan wilayah tersebut diantaranya
Belanda dan Inggris. Buah pala pada masa itu terkenal mahal yang digunakan
sebagai bumbu dan pengawet makanan (http://travel.kompas.com/read/2017/08/01/200200827/kisah-pulau-run-di-indonesia-yang-ditukar-dengan-manhattan-di-new-york).
Selain
di Kepulauan Banda, Sulawesi Utara pun merupakan penghasil pala. Salah satu
daerah di Sulawesi Utara tepatnya di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro
merupakan daerah penghasil pala terbaik di dunia. Pala Siau memiliki
keistimewaan tersendiri karena merupakan satu-satunya pala di Indonesia yang
sudah emndapatkan sertifikat indikasi geografis (SIG). Informasi ini dikutip
dari https://jalurrempah.kompas.id/2017/08/09/pala-siau-primadona-ekspor-rempah-dunia/
Selain
Kepulauan Siau, wilayah lain di Sulawesi Utara lainnya yang merupakan penghasil
pala terletak di Kecamatan Tamako, Belengan, kabupaten Sangihe. Berbeda dengan
Siau yang memiliki lahannya sebesar 90% ditanami pohon pala, sementara di
Tamako, pala bukanlah komoditas utama karena wilayah ini merupakan penghasil
kopra dan cengkeh.
Pohon Pala
Di
Tamako, terdapat Kelompok Swadaya Masyarakat Anugerah Kampung Balane yang
melakukan diversifikasi produk perikanan dan pertanian. Kelompok ini
mendapatkan pendampingan dari Sampiri, Yapeka dan Kehati (ketiga lembaga ini
merupakan lembaga yang bergerak dalam bidang konservasi dan keanekaragaman
hayati). Seorang penyuluh yang juga
merupakan guru SMK Perikanan Kelautan Baramuli, Tamako yang bernama Milda
Lantemona yang melakukan inovasi minuman fermentasi pala. Milda melakukan proses
pembuatan minuman fermentasi dibantu oleh murid-muridnya dari SMK Perikanan
Kelautan Baramuli. Berawal dari keprihatinannya akan sisa limbah pala yang
tidak digunakan, Milda berinovasi untuk membuat minuman fermentasi. Daging buah
pala yang tidak digunakan kemudian dicuci menggunakan kaporit kemudian dikukus dan
diblender ditambah air. Setelah itu, disaring menggunakan air kemudian
dikumpulkan ekstraknya. Air tersebut kemudian dimasak. Untuk 1 kilo daging pala
akan menghasilkan 5 liter ekstrak pala. Setelah itu, direbus dan ditambah gula
dan didinginkan hingga 5 jam dan ditambah ragi roti. Penambahan gula dan ragi akan
berubah menjadi alkohol sebesar 10 persen. Apabila telah lewat 1 bulan, maka
minuman fermentasi pala harus direbus untuk membunuh bakteri.
Minuman Fermentasi Pala
Selain
menambah nilai guna limbah pala, hal yang tidak kalah penting adalah kesadaran
petani pala untuk melakukan sertifikasi agar meningkatkan nilai jual produk
olahan pala. Namun, langkah untuk melakukan sertifikasi adalah dengan membentuk
koperasi. Karena syarat standar untuk sertifikasi adalah pencatatan mengenai
informasi asal pala, catatan mengenai petani pala dan pemetaan dan informasi
lahan kebun pala. Atas dasar tersebut, petani kampung Panumpitaeng Kecamatan
Manganitu Kabupaten Sangihe mempertahankan bentuk koperasi. Ketua koperasi
Apokomasa (Asosiasi Petani Organik Komunitas Masyarakat Sangihe), Alfred
Horomain menjelaskan ihwal terbentuknya koperasi di Manganitu berawal dari kedatangan
seorang pengusaha yang membentuk koperasi petani pala pada tahun 2012 dan
membina petani untuk bertani secara organik untuk mendapatkan sertifikasi.
Setelah proses sertifikasi didapatkan, pengusaha tersebut meminta para petani
organik untuk langsung menjual pala melalui pengusaha tersebut dan melakukan
pembubaran koperasi pada tahun 2014. Alfred menjelaskan kelompok petani menolak
permintaan tersebut karena tidak ingin membubarkan koperasi.
Selama
ini, petani pala di Manganitu menjual pala langsung kepada pengepul di Tahuna
dengan harga Rp. 38 ribu per kilogram. Sementara, apabila telah tersertifikasi
maka harga pala akan mengalami peningkatan. Alfred mengeluhkan minimnya
perhatian pemerintah untuk tata kelola niaga pala di Sulawesi Utara yang
menyebabkan harga pala produk Manganitu begitu rendah.
Setelah
pembubaran koperasi, tahun 2015, praktis menjadi tahun yang vakum bagi koperasi
petani pala. Namun, sejak tahun 2016, Kehati melakukan pendampingan pendirian
koperasi yang mendorong peningkatan semangat para petani pala di Manganitu
untuk aktif mengelola koperasi dan melakukan sertifikasi. Selain itu, di daerah
Manganitu tidak memiliki pola bertani menggunakan produk non organik. Lebih
lanjut, Alfred menegaskan dirinya memiliki perhatian akan nilai tambah produk
pala, melalui cara pengemasan produk dan pembuatan produk pala. Nilai tambah
tersebut dapat menguntungkan petani, karena selama ini nilai tambah hanya
menguntungkan pemodal besar.
Komentar
Posting Komentar