Menjadi Wartawan itu....


Foto itu diambil tahun?? (saya juga lupa, kalau tidak salah tahun 2008). Foto itu diambil ketika saya masih menjadi wartawan radio atau istilahnya reporter (repot nganter hehe). Saat itu saya sedang mewawancari korban banjir di Cienteung, Kabupaten Bandung, yang setiap masa penghujan selalu mengalami musibah banjir akibat luapan sungai Citarum. Untuk menuju lokasi tersebut, saya diantar suami menggunakan motor dengan jarak tempuh memakan waktu satu jam setengah dari kota Bandung. Sampai di lokasi, kondisi sangat memprihatinkan. Karena seringkali mengalami banjir, setiap rumah yang saya temui terdapat garis banjir, kemudian lahan dipenuhi tanah merah, becek dan tentunya sangat tidak sehat. Mengapa warga tidak mau pindah? bukannya engga mau, mau pindah juga, dari mana uangnya. Kadangkala ketika melakukan liputan terkait musibah, seringkali dalam hati bertanya apakah saya membantu penderitaan korban atau melakukan eksploitasi untuk pekerjaan saya. 
Pengalaman menjadi wartawan sangat menyenangkan, hidup saya menjadi lebih hidup. Walaupun saat ini, saya tidak lagi menjadi wartawan, namun saya masih menggunakan metode 'wartawan' untuk pekerjaan penelitian. Namun di antara semua peliputan yang pernah saya hadapi, yang sangat memperkaya batin adalah liputan terkait bencana yang harus mengundang simpati dan empati.
Ketika duduk di bangku SMP, saya menjadi ketua PMR (Palang Merah Remaja). Walaupun jadi ketua PMR, saya ga kuat lihat darah. Jadi gimana mau nolong orang dong. Tapi anehnya, ketika menjadi wartawan dihadapkan dengan kekerasan dan dahsyatnya bencana alam, saya mampu melihat darah.
Tahun 2009, Kabupaten Bandung mengalami gempa, saya melakukan liputan mendatangi rumah sakit pemerintah. Saat itu banyak korban yang tertimpa bangunan akibat gempa yang mendatangi ruang gawat darurat. Saat itu saya harus melihat, mendengar dan merasakan kepiluan orang-orang yang menjadi korban, dimulai dari mengalami patah tulang, retak, hingga luka di sekujur tubuh. 
Namun pengalaman itu, belum seberapa. Ketika tahun 2010 saya melakukan liputan ke Mentawai (saat itu terkena tsunami bersamaan dengan meletusnya Gunung Merapi Jogja). Sayangnya, saya tidak mendokumentasikan sehingga saya tidak dapat berbagi gambar. Hanya mampu berbagi cerita di blog ini. 
Penugasan untuk meliput dampak tsunami di Mentawai ketika saya masih bekerja di stasiun tv nasional. Saat itu saya mendapat penugasan pukul 22 WIB pada hari minggu yang menginstruksikan saya untuk bersiap esok hari berangkat ke lokasi. Seperti biasa, namanya liputan kan mendadak, maka saya pun packing tanpa persiapan yang paripurna. Esoknya teman saya berkomentar ketika saya menggunakan tas yang biasanya digunakan backpacker untuk surfing ke pantai. Katanya ko tasnya ga pake lapisan untuk pelindung hujan. waahhh...eiike lupa ini kan liputan ya bukan piknik :D ya sudah karena repot harus mengurus tiket perjalanan, urusan administrasi dan budget untuk berangkat dari kantor ke lokasi, maka saya pun meminjam dari wardrobe. Karena saya tidak membawa sleeping bag pula, jadi sepaket lah pinjem wardrobe kantor. 
Perjalanan ke Mentawai harus diawali dari Padang, ibukota Sumatera Barat. Setelah itu bertolak ke teluk Bayur, harus menggunakan kapal. Saat itu, KRI dan kapal yang mengangkut relawan telah berangkat, saya dan teman kameramen ketinggalan kapal. Akhirnya saya nebeng dengan rombongan Telkom menggunakan speedboat ke Menwatai. Konon dengan speedboat memakan waktu 8 jam. Sementara ketika pulangnya saya menggunakan KRI yang memakan waktu lebih lama.
Sampai di lokasi pelabuhan di Mentawai (lupa namanya) telah dipenuhi relawan, wartawan, sayangnya hartawan ga ada yang dateng. Namun lokasi bencananya terletak di pulau-pulau kecil yang memakan waktu 2 jam untuk sampai ke lokasi. Saya pun mendatangi lokasi esok hari. Esok hari hujan sangat besar, namun oleh petugas tim SAR, saya dan rekan diminta bersiap dan memakan durian. Konon makan durian ini untuk menghangatkan tubuh. Perjalanan menggunakan kapal kecil 1 mesin melewati hujan dan ombak yang cukup ganas. Ada pengalaman yang tidak akan saya lupakan ketika melewati kawasan yang tidak ada pemandangan alias laut semuanya (serrreeemmm apalagi pas ujan gede, ombaknya goyang dombret pula). Saya baru tahu kalo jalur itu bisa tembus ke samudera Pasifik. Tapi maap pemirsah, saya ga berniat melewati samudera Pasifik, ampuun dah ombaknya.

                        Saya di atas KRI dari Mentawai ke Teluk Bayur, Padang

Sampai di pulau Sipora, tidak ada pemukiman yang selamat, semuanya luluh dihentak tsunami. Ketika sampai, bau jenasah cukup menyengat (saat saya tiba sudah 3 hari terjadi pasca tsunami). Pada korban hidup yang masih bertahan di Pulau Sipora, mendapatkan makanan melalui relawan yang berkeliling menggunakan helikopter. Jadi makanan dan minuman itu dilempar dari atas helikopter ke tempat-tempat pengungsian warga.
Dulu saya pernah membayangkan gimana ya makan ditemani bau mayat. Ternyata saya mengalami, tetapi saya dapat makan secara normal tanpa ada bayangan kengerian (yah mau gimana lagi, daripada engga makan, sakit, nyusahin orang di tempat bencana). Bahkan ketika tim SAR mengevakuasi korban tewas dan para korban itu akan segera dimakamkan secara massal, sebelum memakamkan saya memasak mi instan dan dimakan beramai-ramai dengan korban selamat dan tim SAR tidak jauh dari jenasah-jenasah itu.
Kalau ingat liputan mengenai musibah tsunami Mentawai, saya selalu bersyukur mendapatkan kehidupan yang saya jalani. Saya berniat membuat kehidupan saya dapat bermanfaat. Saya masih bisa bernafas, makan,minum, tidur dan bekerja, itu harus sangat disyukuri.
Namun, saya menyesali selama dulu jadi wartawan, saya jarang mendokumentasikan momen-momen penting. Maka, ini beberapa foto yang tersisa karena handphone yang dulu-dulu dipakai untuk liputan sudah tidak berfungsi lagi. Di bawah ini, foto saya waktu mewawancarai Dede Yusuf yang saat itu sudah menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat. Saya pun lupa saat itu ada event apa, namun saya mewawawacarai beliau untuk isu lingkungan hidup.

                                Saya ketika masih menjadi Reporter Radio

Selain itu, ketika menjadi reporter sebuah TV swasta nasional, saya bisa jalan-jalan sambil liputan ke berbagai kota. Salah satu yang berkesan adalah meliput jenis flora yang hanya ditemui di Kerinci, Jambi. Dalam liputan tersebut harus masuk ke sebuah hutan. Saking rimbunnya hutan, maka pada saat siang hari yang terang, di hutan tersebut gelap dan terdapat rawa. Sehingga ketika memasuki hutan tersebut, saya pun sempet tersedot rawa, walhasil, saat ini dari lutut hingga telapak kaki, celana dan sandal kotor banget hahaha..tapi seru. Kerinci itu mantap banget deh ya danaunya dan gunungnya, walaupun saya hanya bisa melihat dari kejauhan.

    Saya berfoto di bukit Kahyangan, tuh Danau Kerinci dari kejauhan

                                                Berfoto bersama tim liputan

             Ketika meliput ke Cilacap, di depan dermaga menuju Nusakambangan

Pengalaman batin jadi wartawan itu luar biasa

Komentar

  1. Menjadi wartawan itu....... bisa makan dikelilingi sm mayat-mayat.



    Menjadi wartawan itu.......bisa muntah-muntah pas liputan di panti tuna grahita.(ini pengalaman liputan orang hilang).


    Betapa luar biasanya menjadi wartawan. Wartawan itu tidak melulu mewawancarai aktor politik, KPK lagi,Tipikor lagi,MPR DPR lagi,atau bahkan Artis.

    Inilah tugas sejatinya wartawan, dan mbak ica membungkus kisah yang luarbiasa.

    Mantab mbak kelak kisahnya bisa di bukukan amin.

    BalasHapus
  2. Bekerja itu ibadah... Mampu mensyukuri nikmat Nya. Good story, mbak Ica.... ^_^

    BalasHapus
  3. wartawan itu seharusnya adalah panggilan jiwa

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer