Tragedi Transportasi Publik di Negara Berkembang


Tulisan ini ditulis karena saya galau setelah mendengar tragedi terbakarnya KRL di Bintaro siang hari ini. Sebagai rakyat yang penghasilannya pas-pasan, persoalan transportasi jadi hal yang penting mengingat biaya transportasi memegang kendali yang besar dalam pengeluaran bulanan. Di samping pengeluaran lainnya, pengeluran untuk transportasi memang penting karena menyangkut mobilitas. Infrastruktur transportasi dan jalan yang belum baik membuat transportasi publik ga nyaman walaupun pas di kantong, namun kendala waktu dan kenyamanan membuat pengeluaran membengkak untuk transportasi (kembali ke topik, mentang-mentang ibu rumah tangga, seneng bener bahas tentang pengeluaran bulanan hehe).
Setelah saya bermukim di sebuah zamrud katulistiwa yang permai yaitu Pamulang, saya akhirnya harus menggunakan KRL (kereta rel listrik) atau commuter line (dibacanya gabung komuter, jangan kok muter, artinya bisa lain sodara-sodara). Karena harus bekerja di ibukota, maka transportasi publik yang memungkinkan yaitu Commuter, waktu tempuh lebih cepat (dengan syarat engga ada gangguan teknis, entah itu kecelakaan, banjir ataupun masalah teknis), harganya pun terjangkau, hanya dengan Rp. 2500 saja. Tapppiiii, karena harganya murah yah jadi orang tumplek naik KRL. Jadi kalau pagi hari ataupun sore hari jam pergi dan pulang kantor, sudah pasti kondisi KRL ramai, sesak, padat, pengap, bau (relatif lebih baik kalo pake pengharum ruangan eh pengharum badan ya ga akan bau badan). Apa salah nya commuter ga bisa nampung penumpang sampai harus berjubel? ya engga juga sih, ini kan dampak akibat pembangunan yang ga jelas sehingga meningkatkan arus urbanisasi, terjadi lonjakan penduduk maka ibukota dan daerah penyangganya menanggung beban akibat populasi yang padat luar biasa.
Selain masalah pelayanan yang jauh memadai, hal ini ditambah dengan kompleksitas masalah perilaku masyarakat (wah ngomongnya gaya bener, biar kelihatan kaya pakar ehemmm preet). Perilaku masyarakat engga tertib, ga mau antri, sukanya menerabas, pintu commuter baru buka, bukannya mendahulukan orang keluar malah ingin masuk dengan menyikut. Bagaiamana dengan petugasnya? petugasnya kurang sigap, kurang banyak personelnya, kurang ramah (bisa dimengerti mungkin ga sejahtera, stres melihat kondisi lautan manusia dengan berbagai perilaku setiap harinya). Bagaimana pengguna transportasi lainnya? ya kalo palang sudah ditutup karena kereta akan datang, suka mepet-mepet bahaya (mungkin mau uji nyali karena mau lihat jatah nyalinya ada berapa). Akhirnya kalau terjadi kecelakaan panjang urusannya dan merugikan banyak kepentingan pengguna jalan dan pengguna KRL. 
Jadi kesimpulannya, mau nyaman di jalan, mahaaal karena kalo engga pake kendaraan sendiri atau pake taksi. Mau selamat, juga mahaalll, apalagi nyawa ga bisa dibeli. Jadi tulisan ini sebagai bentuk keprihatinan musibah terbakarnya KRL di Bintaro, turut berduka untuk para korban. Semoga semua pihak menjadi sadar. Semoga tidak terulang kembali kejadian serupa.
Dan satu lagi untuk para warga yang menjadi saksi mata, kalau mau menolong silahkan, kalau cuma mau nonton lebih baik urungkanlah niat itu. Musibah kecelakaan kan bukan tontonan. Ada satu hal lagi, saya di angkot dengar desas desus katanya kecelakaan itu terkait dengan mitos tragedi Bintaro tahun 1987. Nah, ya jangan bikin orang takut, jangan menyebar mitos, lebih baik banyak berdoa dan bertafakur supaya kita sama-sama menjaga keselamatan transportasi publik.

Komentar

  1. Hri gni mau selamat mahal ya mbak. Kyk tukang becak di filmnya Dono Kasino Indro, nawar becak 200 perak. Kata tukang becaknya 200 kok minta selamet. Haha...... Jakarta oh Indonesia

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer