Islam Identik dengan Adab, Maka Islam Tidak Mengajarkan Kebiadaban

                                         Masjid Putra, Putrajaya, Malaysia

Selama menulis blog, belum pernah sekali pun saya menulis mengenai Islam yang merupakan kepercayaan saya. Beberapa hal melatarbelakangi keengganan saya untuk menulis, pertama, karena minimnya pengetahuan saya tentang Islam dan kedua, ketakutan dan kekesalan saya apabila menulis terkait Islam apabila ditafsirkan berbeda maka dianggap salah. Saya pikir salah itu wajar, memang fitrahnya manusia tidak luput dari kesalahan, maka Allah memberi kesempatan hambaNya untuk bertobat. Tulisan ini diawali setelah membaca tulisan dari Buya Syafii dengan judul "Kritik dengan Batin yang Remuk" yang dapat diakses di http://republika.co.id/berita/kolom/resonansi/15/11/16/nxwwj7319-kritik-dengan-batin-yang-remuk Saya kagum dengan intelektualitas Buya Syafii. Dalam tulisan tersebut Buya menyayangkan bagaimana pengkotakan Islam dan pelabelannya akibat intrik politik menyebabkan dunia Islam yang identik dengan jazirah Arab mengalami perang. Buya mempertanyakan dengan kejatuhan peradaban Arab, mengapa umat Islam berkiblat kepada Arab dalam memahami Islam? Bagi Buya, agar umat Islam tidak mengalami perpecahan hendaknya berpedoman pada Al Quran dan menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai imam dan panutan, tidak berpatokan pada yang lain. Saya sepakat dengan opini Buya, maka saya pun ingin menulis berdasarkan intepretasi saya yang terbatas ini.
Tulisan ini ditulis setelah insiden Paris Attack oleh kelompok ISIS yang menewaskan 129 orang. Sedihnya, pelaku yang teridentifikasi dengan fisik Arab dan muslim. Sebelumnya tragedi pembantaian di media Charles Hebdo di Prancis pun pelakunya muslim. Maka media seakan mengesahkan muslim identik dengan perilaku kekerasan. Dalam berbagai tindakan teroris lagi-lagi muslim yang menjadi pelaku. Tapi, saya mau menegaskan mereka itu yang di cap ISIS, teroris, ekstrimis yang menggunakan kekerasan dan pembunuhan bukanlah representasi Islam!
Beberapa waktu lalu, sebuah film berjudul "My Name is Khan" yang dibintangi Shah Rukh Khan menjadi kampanye dengan slogan "my name is Khan and I`m not a terrorist". Kampanye bahwa saya atau kami adalah muslim, tapi kami bukan teroris, agama kami bukan agama teroris. Baru-baru ini sebuah video penuh haru diunggah oleh seorang warga negara Prancis Muslim yang menyatakan "Saya Muslim, saya percaya pada Anda, Apabila Anda percaya pada Saya, Peluk Saya". Aksi simpatik ini ditanggapi Parisian (warga Paris) dengan positif yang memeluk pria tersebut.


Islam merupakan tuntutan hidup dengan sekumpulan adab (seperangkat perilaku yang mencirikan sebagai Muslim). Saking beradabnya, maka Islam sangat menjunjung tinggi hak perempuan, hak terhadap lingkungan hidup (dengan ditetapkannya manusia sebagai sang penjaga atau khalifah) hingga perlakuan terhadap satwa. Apabila yang terlihat, Islam tidak seperti itu, dianggap Islam tidak menghargai perempuan, identik dengan pengrusakan, bahwa hal tersebut bukan Islam. Itu adalah implementasi orang atau kelompok yang beragama Islam tapi tidak menghayati bagaimana indah dan damainya Islam. Dalam berbagai catatan sejarah, bahkan yang ditulis oleh pakar sejarah Inggris, Martin Lings menulis biografi tentang Muhammad sebagai orang yang lembut hatinya. Namun, pemahaman yang salah seringkali dialamatkan kepada Nabi Muhammad yang hanya dilihat dari kasus poligami. Padahal, poligaminya Muhammad berbeda dengan poligami pria di masa ini, yang umumnya lebih mengikuti syahwat atas nama diperbolehkan oleh agama tanpa mengindahkan hal-hal lain yang sepatutnya menjadi pertimbangan apabila hendak berpoligami.
Di masa lalu, Islam terkenal kemasyurannya akan ilmu pengetahuan, Ibnu Sina, sang pakar medis; Al Biruni yang menguasai teknologi dan humaniora; Ar Razi merupakan pakar sains; Ibnu Rusyd sang fisikawan; Ibnu Haitham sang ilmuwan optik dan banyak lagi. Traveler? bukan hanya dominasi bule, Islam juga sudah ada tokohnya Ibnu Battuta. Terus kenapa sekarang ko perkembangan Islam menyusut? Karena, umat Islam sekarang males belajar, males mikir, suka diprovokasi dan diadu domba. Di saat bersamaan, kalangan elitnya sibuk memikirkan urusannya sendiri maka umat hanya dijadikan amunisi untuk kepentingan politik atas nama (lagi-lagi) Islam, padahal engga. Di saat yang bersamaan, kelompok-kelompok yang tidak menyukai keberadaan Islam lebih canggih dan memanfaatkan situasi ini untuk memancing di air keruh, jadi sempurnalah umat Islam saat ini dalam keterbelakangannya.


Saya suka dengan kampanye damai, alhamdulillah mendapat kesempatan mengajar Studi Perdamaian. Dalam interaksi dengan mahasiswa, saya tanyakan siapa tokoh yang mengkampanyekan damai dengan latar belakang agama? jawabannya Dalai Lama, Paus Paulus, atau Mahatma Gandhi. Coba lihat gambar di atas. Pertanyaannya, ke mana ya tokoh Islam yang menyuarakan perdamaian? Pertanyaan ini menyakitkan, tapi ini realitas untuk umat Islam. Jangan terpancing dan memancing provokasi, lebih baik berdayakan pikiran dan perasaannya untuk kemajuan umat manusia yang beradab agar menjadi sebaik-baiknya manusia hidup.

Komentar

Postingan Populer