Subsistensi Paradoks Pertanian dan Petani Pembelajar

                                                                         Munajat, Petani Indramayu

Pada suatu siang cukup terik di sebuah kantor kecamatan dengan bangunan yang agak rapuh terdengar tawa lepas dari sebuah ruangan yang penuh sesak tersebut. Suara percakapan dan tawa tersebut merupakan suara dari petani dan petugas penyuluh pertanian yang saat itu mengikuti kegiatan pelatihan. Yang membuat kagum ketika para petani itu menyampaikan gagasan di benaknya. Pak Munajat (foto di atas ) mengatakan "supaya kita para petani diperjuangkan, pilih kades pro petani". Dalam hati saya, wah pak Munajat ini melek politik dan tahu apa yang harus diperjuangkan sebagai petani. Tidak berhenti sampai di situ, suara lainnya: 
"saya punya cara membuat pestisida nabati"
"cara membuat kompos, saya bisa"
"selain bertani, saya beternak, cara memelihara kambing yang baik seperti ini..."
"ada cara membuat bakterium dari kentang, begini.." 
Itulah ide-ide dari bapak-bapak petani yang saya temui di Indramayu. Kaget dan kagum, betapa alam sudah membuat mereka menjadi tangguh, belajar dari alam. Bisa jadi sekolahnya engga tinggi, tapi praktek ilmunya sudah mumpuni. Kesimpulannya, masyarakat petani bisa ko diajak maju karena mereka sejatinya adalah petarung tangguh menhadapi alam dan pembelajar.

Saya baru mengenal (baru mengenali isu sosial dan pertanian) istilah subsisten baru-baru ini. Dulu, saya ga paham tentang pertanian (sekarang juga belum sih hehe), tapi setelah tahu sedikit, rasanya sedih dan bingung kenapa ya petani ko gini-gini aja. Istilahnya subsisten menurut James C Scott (1981), secara moral ekonomi petani cenderung menjauhi resiko sehingga pilihan hidup subsisten atau hidup ala kadarnya dengan berbagi dengan keluarga dan sesama yang menjadi penyebab petani tidak keluar dari kemiskinan. Terutama bagi petani buruh alias tidak punya lahan, atau memiliki lahan terbatas sangat rentan dengan subsistensi. Pertanyaan bagi saya mengapa petani tidak berani mengambil resiko? Pasti banyak faktor, bisa jadi karena memang tidak sanggup menanggung kerugian gagal panen, bisa jadi 'sendirian' karena negara tidak hadir atau bisa jadi mentalitasnya. Saya sendiri belum paham, karena baru mau mulai meneliti. Tapi sederhananya, dulu jaman orde baru, Presiden Soeharto dianggap pro petani, tapi kenapa ya petani tetep miskin. Kalau sekarang, Indonesia keranjingan produk-produk impor termasuk produk pertanian, ya karena belum ada keseriusan dari pembuat kebijakan untuk menjadikan pertanian sebagai industri. Apalagi sekarang era perdagangan bebas, ya sangat memungkinkan negara-negara industri untuk ekspansi produknya. Lah Indonesia, ko malah mengimpor produk pertanian? Pengalaman saya dulu jadi wartawan datang ke tempat-tempat pertanian basah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat dan Jambi yang saya temukan gudang penyimpan beras, kalau bahasa Sunda terkenal dengan istilah leuit. Baik yang di Jawa atau di Sumatera hampir sama gudang penyimpan berasnya khusus di tempat yang terbuat dari kayu dan berbentuk saung yang dapat dapat menampung cadangan beras untuk 2 atau 3 tahun. Berarti kalau tradisi itu masih ada, kayanya ga perlu impor deh. 

                                            Suasana santai antara petani dan petugas penyuluh pertanian

Seorang petugas penyuluh pertanian yang saya ajak berbincang mengatakan "banyak juga petani gagal panen karena cuacanya ga bisa ditebak, ada yang sampai sakit parah karena tidak kuat menanggung kerugian besar. kalau seperti itu, saya juga sedih sekali". Selain itu ada juga petani bercerita "ada teman saya menyemprot pestisida ke sawahnya meninggal karena menghirup uap pestisida, mungkin penyemprotannya tidak benar". Dua penggalan pernyataan tersebut membuat saya berpikir itu baru segelintir yang saya ketahui, pasti masih banyak kasus seperti itu tapi tidak muncul ke permukaan. Sedih sekali, petani ini harus didampingi oleh pemerintah dan ilmuwan. Petani memiliki pengetahuannya, maka yang bisa dilakukan mendengarkan mereka. Tetapi petani juga perlu diberikan ilmu pengetahuan untuk mereka dapat mengambil keputusan. Walaupun pertanian ini sulit karena kompleksitas kebijakan dan struktural yang membuat sektor pertanian ini seakan menjadi gurem.

                                                               Pak tani sedang menyimak pelatihan

                                                   Pak Taman dalam Global Landscape Forum 18 Mei 2017


Kemaren di sebuah forum, seorang petani bernama Ahmad Tamanudin yang biasa disapa dengan nama Pak Taman menyampaikan penggalan pengalamannya menjadi petani di Kalimantan Tengah. Pak Taman berasal dari Ngawi, Jawa Timur yang mengikuti program transmigrasi pada tahun 1980. Pak Taman diberikan lahan seluas 2 hektar oleh pemerintah saat itu. Pak Taman mengatakan sejak tiba di Palangkaraya, dirinya sudah paham bahwa di Palangkaraya lahannya memiliki jenis gambut yang mudah terbakar, kalau terbakar bisa saja kedalaman lahan hingga 2 meter. Pada awalnya, pak Taman menggunakan metode tebas bakar, gulma ditebas dengan akarnya karena tidak mendapatkan penyuluhan apa pun ketika awal menjadi transmigran di Kalimantan Tengah. Sejak tahun 2004, pak Taman tidak lagi membakar karena mendapatkan pengetahuan dari peneliti bahwa kondisi alam berubah maka metode pembakaran yang dulu tidak bermasalah, sekarang tidak tepat lagi karena dapat menimbulkan kebakaran hutan dan lahan. Akhirnya pak Taman mencari solusi tidak membakar gambut dengan membeli material tanah subur, pupuk kandang dan kapur. Pak Taman mengetahui hal-hal tersebut karena rajin membaca, bertanya, mengikuti pelatihan dan diskusi. Saat ini, pak Taman menjadi petani di Kalimantan Tengah yang dapat dijadikan model bertani dengan menjaga keberlangsungan eksosistem. 

Ya, mudah-mudahan pengembaraan saya nanti bisa bertemu lebih banyak dengan petani-petani yang hebat seperti di atas yang sudah saya sebutkan.



Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer