Perempuan Sebagai Agen Perdamaian

 oleh: Ica Wulansari

Hari ini saya kembali membuka blog saya untuk menulis. Cukup lama vakum menulis di blog karena berbagai alasan. Hari ini, hari minggu, jelang Ramadhan, dimana saya sedang menikmati waktu berkumpul dengan keluarga atau munggahan istilahnya apabila berkumpul keluarga jelang Ramadhan. Pada pagi hari, saya geram sekali mendengar berita bom bunuh diri di 3 gereja di Surabaya. Geram, karena atas nama keyakinan agama yang saya percayai dan naluri kemanusiaan, saya benci sekali dengan tindakan kekerasan yang membuat orang terluka dan terbunuh. Dan tentu, saya pun berduka untuk para korban dan berdoa semoga tidak ada lagi kejadian seperti ini. Namun yang cukup membuat saya kaget ketika diduga pelaku bom bunuh diri adalah perempuan. Yang namanya kemanusiaan selayaknya tidak pandang gender, namun ketika perempuan sudah mampu menjadi pelaku kekerasan, seperti bom bunuh diri, saya tentu tidak mampu melogikakan lagi apa yang terjadi di balik semua ini.
Kejadian ini membuat saya ingin menulis di blog ini yang kebetulan merupakan materi perkuliahan ketika saya pernah mengajar mata kuliah Studi Perdamaian. Saya cukup beruntung mengajarkan mata kuliah ini karena saya sambil belajar dan memang dalam kampanye perdamaian adalah tugas seluruh insan warga negara.
Menurut pemerhati perang dan gender di India, Anuradha M. Chenoy, dalam konflik bersenjata, perempuan berada dalam posisi:
1. Korban dan pengungsi
2. Berelasi dengan kombatan
3. Pendukung pergerakan
4. Kombatan yang dipersenjatai
5. Pendukung kehidupan kombatan
6. Pembuat perdamaian

Memang, dalam kasus bom bunuh diri ini, konteksnya negara tidak sedang berperang, namun kondisi perdamaian tidak dalam keadaan stabil. Pada poin 2,3,4 dan 5 di atas, perempuan cenderung menjadi pelaku kekerasan walaupun di satu sisi perempuan-perempuan tersebut menjadi korban kekerasan 'yang terpaksa mengikuti lingkaran kekerasan'. Lingkaran kekerasan ini adalah pihak yang secara langsung bertempur atau bertikai di medan konflik atau perang maupun pihak yang berada pada kelompok ekstrem ataupun teroris.
Sejarah menunjukkan beberapa contoh bagaimana perempuan diberikan pelabelan negatif sebagai pelaku kekerasan calah satunya istilah 'zombie' dan 'black widow' terhadap perempuan pemberontak Checnya (Chechen) yang digambarkan kejam dan pembunuh yang bertindak secara emosional. Selain itu, contoh perempuan yang terlibat dalam perang gerilya di El Salvador dimana perempuan aktif dalam kelompok bersenjata, hingga perempuan yang melakukan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) pada konflik yang pernah terjadi di Sierra Leone, Kongo dan Liberia. Namun, bagaimana perempuan menjadi pihak kombatan pernah terjadi di Sri Lanka tahun 1983. Ketika perempuan difasilitasi dan berpartisipasi dalam konflik termasuk perang gerilya, pelaku eksekusi bom bunuh diri dan menjadi kurir bom dan senjata. Melalui latihan militer, perempuan-perempuan ini menjadi pendukung Front Separatis Macan Tamil yang umumnya saat itu menjadi pelaku bom bunuh diri. Yang terbaru, di Suriah seorang perempuan dijuluki 'Guevara' yang merupakan sniper (penembak bayaran) yang jitu dalam membidik musuh. Perempuan ini terlibat di medan perang setelah duka mendalam karena kehilangan dua orang anaknya akibat perang di Suriah. 
Beberapa kejadian di atas, saya berkesimpulan bahwa perempuan yang terlibat dalam konflik atau perang maupun pelaku bom bunuh diri karena terjebak dalam siklus kekerasan dengan dua pilihan menjadi pelaku atau menjadi korban dimana keduanya merupakan nestapa akibat perang maupun benih kekerasan yang ingin disebarkan oleh pihak-pihak pelaku kekerasan.

Pada poin di atas menurut Anuradha yaitu perempuan sebagai pembuat perdamaian. Tulisan singkat ini, saya ingin menegaskan pada poin ini. Perempuan menjadi pelaku dalam perdamaian. Perempuan membutuhkan penguatan pergerakan politik untuk meningkatkan kesadaran gender. Proses politik mengenai perdebatan secara kuantitas atau kualitas keterwakilan perempuan di parlemen, bukan menjadi perhatian saya, yang menjadi perhatian adalah bagaimana keterwakilan perempuan mampu mendorong kebijakan-kebijakan yang berpihak pada perempuan dalam konteks hukum, sosial dan politik. Apabila kebijakan belum pro untuk menjauhkan perempuan dari kekerasan sistemik maka keterwakilan perempuan menjadi catatan perbaikan yang perlu dibenahi. 

Bagaimana perempuan sebagai pelaku perdamaian. Sederhana saja. Kita tentu berharap Indonesia aman damai sejahtera dan itu butuh usaha tidak hanya dari pemimpin negara tetapi juga dari segenap warga negara. Saat ini, isu yang cukup serius mengenai ujaran kebencian dan maraknya hoax/ berita palsu yang menggunakan label identitas yang dibungkus oleh kepentingan politik. Menyikapi hal tersebut, perempuan dapat berdiri di garda depan mendukung perdamaian. Caranya: membiasakan tabayun/ cross-check akan kebenaran informasi yang diterima. Informasi yang masuk jangan ditelan mentah-mentah, dicerna terlebih dahulu dan bersikap kritis. Itu saja? masih ada lagi, stop menyebarkan viral-viral berbau kekerasan, karena akan menularkan kekerasan lainnya. Daripada menyebarkan viral foto dan video berbau kekerasan atau ujaran kebencian, ujaran nyinyir lebih baik ujaran yang bersifat mencerahkan dan menghibur. misalnya: "Hai cantik, apa kegiatanmu hari ini? semoga Tuhan memberikan kelancaran ya"...Nah, kalau ujaran seperti ini kan adem, jadi mendoakan orang dan menambah semangat orang yang baca. Coba kalau ujaran kebencian disebar: "pelakor masuk neraka"..kan serem ya, pelakor (perebut laki orang, istilah yang saat ini ngehits). Untuk menentukan masuk neraka atau surga adalah hak prerogatif Allah, kita mah berbuat baik saja tanpa harus menghakimi orang lain. Coba kalau seperti ini: "untuk para pelakor, Anda adalah wanita cantik ayo segera halalkan hubungan dengan lelaki yang pantas untukmu, akhiri hubungan gelapmu karena akan membuat gelap hidupmu"..nah kalo gini kan mengingatkan, kedengerannya lebih adem kan? (ayo jawab jujur..).
Ada contoh bagaimana perempuan terlibat dalam proses perdamaian, salah satunya negosisasi perdamaian di Irlandia Utara. Perempuan terlibat di meja perundingan yang difasilitasi Irlandia Utara, Republik Irlandia dan Kerajaan Inggris pada tahun 1998 yang terkenal dengan hasil Good Friday Agreement. Uniknya dalam proses tersebut, para kombatan perempuan secara sistematis terlibat dalam proses perdamaian.
 
Mari kita tolak ujaran kebencian, tolak perlakuan kasar, dan tolak melakukan kekerasan karena ajaran agama pun mengajarkan kedamaian. Perempuan begitu berharga maka mari kita menjadi bagian kampanye perdamaian..Untuk perempuan, kekuatanmu mampu mengubah dunia, mari mengubah dunia menjadi lebih baik..



 





Komentar

Postingan Populer