Sektor Pertanian Yang Mencemaskan


Ica Wulansari

Mengapa judulnya seperti sedang menakut-nakuti? Sebetulnya bukan untuk menakut-nakuti, tetapi memaparkan keadaan yang saya amati. Anda berbeda pendapat, silahkan saja karena saya meyakini pengalaman dan pengetahuan setiap orang berbeda. Mengapa mencemaskan karena data dari BPS menunujukkan pada tahun 2017 bahwa sektor pertanian menempati sektor tertinggi yang memberikan lapangan pekerjaan bagi 39 juta orang atau sekitar 31 persen jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia. Belum lagi, bagaimana jumlah petani berlahan kecil maupun buruh tani yang ada. Umumnya petani di Indonesia merupakan petani berlahan kecil kurang dari 2 hektar (bisa diganti dengan istilah bau atau bata dengan ukuran yang berbeda dengan hektar). Dengan angka yang besar, namun petani di Indonesia bisa dikategorikan sebagai pekerjaan yang marjinal artinya pekerjaan yang belum menempati tingkat kesejahteraan yang layak.

Selain itu, petani menghadapi beragam permasalahan diantaranya perubahan iklim (ketidakpastian cuaca jangka pendek dan iklim jangka panjang); serbuan hama dan penyakit pada tanaman padi; serbuan penggunaan bahan kimia aktif dalam pestisida dan pupuk; permasalahan air maupun irigasi; penentuan harga gabah maupun akses petani untuk menjual beras. Dari jaman dahulu hingga saat ini, masih ada yang namanya tengkulak. Petani menjual beras ke tengkulak dengan harga rendah dan tengkulak menjual dengan harga tinggi. Hal tersebut karena tengkulan memiliki modal dan petani ingin cepat terjual gabah maupun berasnya untuk bertahan hidup. Saya pun tidak paham mengapa tengkulak ini masih ada ya? (menurut saya, tengkulak itu melakukan praktek kolonialisme alias raja tega). Bagaimana tata niaga dalam hal ini belum menjadi perhatian pemerintah untuk memberantas praktek ijon. Maka, di titik ini saya menyebut petani termasuk kelompok rentan yang membutuhkan mekanisme sistem kolaborasi dengan pemerintah, ilmuwan, dan pebisnis. Namun, ketiga kelompok tersebut memiliki kepentingannya masing-masing, begitu pula petani memiliki kepentingannya. Namun, apakah ego sektoral mau terus ditonjolkan? Sementara jutaan warga perlu bertahan hidup dengan keberadaan pangan pokok dan petani perlu bertahan hidup pula.

Di lapangan, banyak juga alat pertanian yang merupakan bantuan pemerintah. Tentu, bantuan tersebut baik, namun pertanyaannya apakah sesuai dengan kebutuhan petani? Penggunaan traktor atau combine harvester mungkin tepat digunakan untuk petani berlahan besar (seperti di negara-negara berkembang). Namun, di negara-negara berkembang termasuk Indonesia umumnya petani berlahan kecil, kalau pake traktor semua, wis ruontok kabeh. Maka, ada praktek petani berlahan kecil yang patut dipahami oleh pihak yang berkepentingan terhadap pertanian bahwa penggunaan teknologi seperti apa yang sesuai dengan kebutuhan. 

Teknologi kan tidak hanya mesin, bisa saja berbentuk pestisida, pupuk maupun benih. Nah, dalam hal ini apakah petani menggunakannya sesuai dengan ambang batas ekonomi? Kemudian bagaimana menjaga daya dukung ekosistemnya. Keduanya penting karena kedua hal tersebut yang akan mendukung keberlanjutan hidup petani. Pertanyaan keberlanjutan hidup seperti apa? Apakah sawah dengan hama dan penyakit, pengerasan tanah, yang akan menyebabkan menurunnya produktivitas pertanian. Tentu yang diharapkan adalah kesejahteraan petani terjamin karena kestabilan produktivitas pertanian dan ekosistem sawah terjaga.

Oiya bicara benih, petani mampu loh membuat benih sendiri. Memang sertifikasi benih harganya mahal. Petani yang mampu membuat benih pun perlu mendapatkan dukungan dari masyarakat madani, pemerintah maupun komunitas petani. Simaklah tautan ini, Wa Darmin dari Indramayu mampu menghasilkan benih  http://www.salamtani.id/bangga-wa-darmin-petani-pemulia-asal-indramayu-terima-penghargaan-pvt-2017/

Organisasi petani berlahan kecil dan menengah global bernama La Via Campesina  mendorong praktek berkelanjutan sebagai upaya kedaulatan pangan dimana petani yang mampu bertindak dengan kapasitas yang memadai. Kapasitas tersebut berupa pengetahuan petani, salah satunya dengan pengetahuan agroekologi, tautannya di http://villagerspost.com/special-report/agroekologi-menata-jalan-lurus-mewujudkan-kedaulatan-pangan/


Yang pasti, permasalahan di sektor pertanian begitu kompleks dan harus terurai permasalahannya bagi pemerintah maupun akademisi untuk menemukan jalan keluar. Karena petani tidak mungkin dapat berjalan sendiri. Investasi yang besar yang harus dipersiapkan negara adalah memberikan pelatihan maupun pendidikan bagi petani agar petani memiliki pengetahuan yang memadai menghadapi berbagai kendala di lahannya. Apabila akses teknologi yang lebih diutamakan tetapi pengguna teknologinya belum memiliki kesiapan, apalah artinya, Maka, penguatan kapasitas petani menjadi petani pembelajar menjadi keharusan menghadapi ketidakpastian yang saat ini terjadi.


Komentar

Postingan Populer