Etika Terhadap Lingkungan Hidup
Tulisan di Forest Walk Babakan Siliwangi, Bandung
Isu
lingkungan hidup merupakan isu penting terkait dengan persoalan kemanusiaan dan
peradaban umat manusia. Kerusakan lingkungan hidup mengalami laju yang cepat
seiring dengan dorongan pembangunan. Dalam pembangunan, pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai indikator
kesuksesan sebuah negara. Seolah konsep pembangunan berbentuk modernisasi
dianggap secara universal sebagai bentuk pembangunan yang ideal. Namun, pada
praktiknya akibat modernisasi, laju pertumbuhan industri meningkat akibat
keharusan peningkatan investasi untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Maka,
dampak buruk akibat pengejaran pertumbuhan ekonomi berdampak kepada eksploitasi
alam dan sumber daya alam sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup.
Sejak
bergulirnya isu kerusakan lingkungan hidup menjadi perhatian bagi semua pihak di antaranya pemangku kepentingan maupun kelompok pemikir maupun pemerhati isu lingkungan hidup. Pertanyaannya lantas mengapa kerusakan hidup terus terjadi. Pertanyaan tersebut menjadi sumber refleksi bagi kita semua, sebenarnya bagaimana perspektif atau kacamata yang kita pilih untuk mengatasi kerusakan lingkungan hidup atau bahkan kacamatan untuk menghindar dari kerusakan lingkungan hidup. Maka, perlu kiranya kita melihat etika atau worldview atau sudut pandang dalam memandang lingkungan hidup.
Antroposentrisme
Etika lingkungan hidup muncul dalam
padangan green politic. Paham green berupaya menempatkan isu
lingkungan hidup agar mendapatkan politisasi. Umumnya paham green memiliki pandangan mengenai
kelangkaan lingkungan hidup akibat dorongan market.
Hal ini menjadi ‘tragedy of the commons’
akibat keegoisan karena rasionalitas ekonomi yang melakukan eksploitasi
mencakup udara, air dan lainnya oleh sektor privat dalam jangka waktu tertentu (Piers et al., 2006). Paham green menyoroti ancaman
keamanan akibat kerusakan lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup
merupakan akibat etika antroposentrisme di tengah meningkatnya peradaban modern
berbentuk industrialisasi.
Etika
antroposentrisme yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan
hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekadar
alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Manusia dianggap
berada di luar, di atas dan terpisah dari alam. Bahkan manusia dipahami sebagai
penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja terhadap alam. Cara pandang
seperti ini melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian sama
sekali terhadap alam dan segala isinya. Etika antroposentrisme merupakan cara
pandang Barat, yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf modern (Keraf, 2010).
Ada
tiga kesalahan fundamental dari cara pandang antroposentrisme. Pertama, manusia
dipahami hanya sebagai makhluk sosial, yang eksistensi dan identitas dirinya
ditentukan oleh komunitas sosialnya. Manusia, tidak dilihat sebagai makhluk
ekologis yang identitasnya ikut dibentuk oleh alam. Kedua, etika hanya berlaku
bagi komunitas sosial manusia. Jadi, yang disebut norma dan nilai moral hanya
dibatasi keberlakuannya bagi manusia. Ketiga, kesalahan cara pandang pada
antroposentrisme diperkuat lagi oleh cara pandang atau paradigma ilmu
pengetahuan dan teknologi modern yang Cartesian dengan ciri utama
mekanistis-reduksionistis. Dalam paradigma ilmu pengetahuan yang Cartesian, ada
pemisahan tegas antara alam sebagai obyek ilmu pengetahuan dan manusia sebagai
subyek (Keraf, 2010).
Biosentrisme dan Ekosentrisme
Paham
antroposentrisme mendapatkan perlawanan melalui etika lingkungan hidup yang
diperjuangkan dan dibela oleh biosentrisme dan ekosentrisme. Kedua pandangan
ini memberikan penghargaan terhadap etika masyarakat adat, yang dipraktikkan
oleh hampir semua suku asli di seluruh dunia, tetapi tenggelam di tengah
dominasi cara pandang dan etika Barat modern. Biosentrisme adalah teori yang
menganggap setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada
dirinya sendiri. Teori ini menganggap serius setiap kehidupan dan makhluk hidup
di alam semesta. Semua makhluk hidup bernilai pada dirinya sendiri sehingga
pantas mendapatkan pertimbangan dan kepedulian moral. Menurut teori biosentrisme, subyek moral adalah semua organisme hidup dan
kelompok organisme tertentu Benda-benda
abiotik lainnya, seperti batu, udara, air, tanah dan semacamnya bukan merupakan
subyek moral pada dirinya sendiri. Berdasarkan argumen itu, sebagai pelaku
moral manusia dengan sendirinya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab moral
atas keberadaan dan kelangsungan hidup semua organisme karena mereka adalah subyek
moral (Keraf, 2010).
Ekosentrisme
merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan hidup biosentrisme. Kedua
teori ini mendobrak cara pandang antroposentrisme yang membatasi keberlakuan
etika hanya pada komunitas manusia. Keduanya, memperluas keberlakuan etika untuk
mencakup komunitas yang lebih luas. Pada biosentrisme, etika diperluas untuk
mencakup komunitas biotis. Sementara ekosentrisme, etika diperluas untuk
mencakup komunitas ekologis seluruhnya. Salah satu teori ekosentrisme adalah
etika lingkungan hidup yang popular dikenal sebagai Deep Ecology. Deep ecology menuntut suatu
etika baru yang tidak berpusat pada manusia, tetapi berpusat pada makhluk hidup
seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Deep ecology memusatkan perhatian kepada
semua spesies termasuk spesies bukan manusia (Keraf,
2010).
Ekosentrisme
menurut Eckersley (1998) yaitu : Pertama, ekosentrisme melibatkan sejumlah klaim
empiris. Klaim tersebut melibatkan suatu pandangan dunia yang secara ontologis
terdiri dari interelasi bukan entitas individu. Semua makhluk hidup pada
dasarnya terikat hubungan dengan ekologi. Kedua, ekosentrisme memiliki nilai
etis. Eckersley menolak antroposentrisme berdasarkan alasan-alasan
konsekuensialis, yang menyatakan bahwa antroposentrisme mengakibatkan ke arah
kemusnahan lingkungan, tetapi juga membela ekosentrisme berdasarkan
alasan-alasan deontologis.
Ekosentrisme
mempunyai empat ciri utama yang bersifat etis lingkungan hidup. Pertama,
ekosentrisme mengidentifikasi semua kepentingan manusia terhadap dunia
bukan-manusia. Kedua, ekosnetrisme mengidentifikasi masyarakat bukan manusia.
Ketiga, ekosentrisme mengidentifikasi kepentingan generasi masa depan manusia
dan bukan manusia. Ekosentrisme menerapkan suatu perspektif holistic dan bukan
atomistic yaitu dengan menilai populasi, spesies, ekosistem dan lingkungan alam
secara keseluruhan seperti halnya organisme individu.
Ekosentrisme
mensyaratkan desentralisasi kekuasaan oleh Negara tetapi juga mensentralisasi
kekuasaan oleh Negara, tetapi juga mensetralisasi kekuasaan ke level regional
dan global. Eckersley mengembangkan argumentasi politis dari suatu orientasi
yang statis. Ekosentrisme mensyaratkan bahwa harus mendesentralisasi kekuasaan
oleh Negara, tetapi juga mensentralisasi kekuasaan ke level regional dan
global. Bentuk baru struktur politik global diperlukan sudut pandang
ekosnetris. Ini diperlukan dalam rangka melindungi alam. Penafsiran
ekosentrisme oleh Eckersley tidak bebas dari sejumlah tantangan. Ekosentrisme
dengan sendirinya tidak memiliki batas politik yang jelas Penafsiran
alternative yang utama dalam pemikiran Politik Hijau menyatakan bahwa munculnya
pemikiran modern lah yang menjadi pokok permasalahan dipandang dari sudut
pandang ekosentris.
Komentar
Posting Komentar