Ngobrolin Perubahan Iklim Dalam Konteks Global

Gambut di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah (dokumen: Ica Wulansari)

Isu perubahan iklim memunculkan wacana yang kuat yaitu ‘pemerintahan lingkungan hidup global’. Selain itu, isu perubahan iklim mendapatkan sorotan besar dari berbagai negarawan, politisi, akademisi dan  media massa. Rezim perubahan iklim berjalan beriringan dengan agenda global pembangunan berkelanjutan mendorong paradoks yang menampilkan realisme dan kapitalisme gaya baru. Maka, isu perubahan iklim dalam pentas global seolah hanya untuk 'memenangkan' kepentingan negara-negara maju. Dalam beberapa putaran KTT Perubahan Iklim ya deadlock terus. Maka, kepentingan negara-negara berkembang termasuk Indonesia belum terakomodir. Kemudian ada istilah 'climate justice' menuntut keadilan dalam memikul tanggung jawab mengurangi emisi karbon. Tapi, dalam pentas global, wacana climate justice ya kalah dengan common responsibilities yang ditekankan oleh semua pihak dalam KTT Perubahan Iklim.
  Maka, tidak mengherankan Sir Anthony Giddens (2011) dalam bukunya berjudul "The Politics of Climate Change" memberikan kritik bahwa negara sebagai aktor utama yang seharusnya mampu melakukan intervensi dalam pengurangan dampak perubahan iklim. Namun di kalangan elit politik, perubahan iklim tidak lebih sebagai 'hanya' politik isyarat dengan bahasan yang tidak menyentuh konteks. Lebih lanjut, Giddens (2011) bahkan menyoroti bagaimana masyarakat ‘dipaksa’ menerima perubahan iklim sebagai ancaman utama tetapi mendapatkan solusi yang minim dalam berbagai sektor kehidupan untuk memecahkan masalah ini.
           Sejarah wacana perubahan iklim bergulir dalam politik internasional diawali dari Protokol Kyoto. Protokol Kyoto lahir pada KTT Perubahan Iklim ke-3 tanggal 11 Desember 1997. Namun berdasarkan ketentuan, Protokol Kyoto akan efektif apabila diratifikasi oleh paling sedikit 55 negara-negara termasuk negara maju dengan total emisi karbondioksida paling sedikit 55 persen. Pada saat itu, negara yang paling keras menolak meratifikasi Protokol Kyoto adalah Amerika Serikat dengan alasan terbesar implementasi Protokol Kyoto akan berdampak negatif bagi perekonomian Amerika Serikat. Implementasi Protokol Kyoto pun hanya jalan di tempat karena negara-negara maju enggan berkomitmen untuk menurunkan emisinya.
Rezim perubahan iklim berlanjut pada KTT Perubahan Iklim ke-13 yang berlangsung di Bali (Indonesia menjadi tuan rumah) pada Desember 2007 yang menyepakati mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation-REDD). Saat itu, Indonesia banyak disorot karena  terjadinya kebakaran hutan hampir setiap tahun. Babak berikutnya adalah jelang berakhirnya Protokol Kyoto pada tahun 2012, maka KTT Perubahan Iklim ke-15 pada 7-18 Desember 2009 berupaya menghimpun kesepakatan yang mengikat melalui Kesepakatan Kopenhagen (Copenhagen Accord). Copenhagen Accord merupakan draft keputusan yang dibahas dan dirumuskan oleh 26 negara peserta konferensi. Copenhagen Accord lahir dari perdebatan alot dan tidak berakhir dengan solusi antara negara berkembang dan negara maju. Namun Copenhagen Accord berakhir dengan kegagalan karena tidak terdapat mekanisme hukum yang mengikat di antara para pihak. 
Di tengah pesimisme akan kegagalan akibat konsensus perubahan iklim tidak tercapai, KTT Perubahan Iklim di Paris pada 30 November-11 Desember 2015 memberikan nuansa baru. Sebelum pelaksanaan KTT tersebut, negara-negara para pihak diwajibkan untuk menyerahkan dokumen INDC (Intended Nationally Determined Contribution) yang berisi niat dan janji masing-masing negara untuk kontribusi menurunkan emisi nasional yang mendukung target menurunkan temperatur global di bawah 2 derajat Celcius. Kesepakatan Paris (Paris Agreement) mensyaratkan negara maju mengambil langkah-langkah kepemimpinan dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), sedangkan negara berkembang diupayakan melanjutkan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dengan dukungan negara maju dalam bentuk pendanaan, teknologi dan peningkatan kapasitas untuk menanggulangi dampak perubahan iklim.
Babak berikutnya yang menentukan sejarah rezim perubahan iklim adalah ratifikasi Kesepakatan Paris untuk mengefektifkan komitmen negara-negara antar pihak. Ketika negara-negara telah melakukan ratifikasi, maka status INDC berganti menjadi NDC (Nationally Determined Contribution). Kejutan yang cukup manis ketika Amerika Serikat dan China bersedia meratifikasi Kesepakatan Paris. China dan Amerika Serikat menyumbang satu pertiga emisi gas rumah kaca global. KTT Perubahan Iklim sampai tahun 2018 pun, lagi-lagi Amerika Serikat 'berulah', bahkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengancam akan menarik diri dari Perjanjian Paris. Yah, belum happy ending story nih rezim perubahan iklim global.
Nah, berbagai perundingan Perubahan Iklim yang melelahkan dan perdebatan yang sengit antara negara maju dan negara berkembang dalam memperjuangkan kepentingannya masih etrus berproses. Saat ini terdapat wacana mengenai keamanan iklim. Jeffrey Mazo (2010) mengatakan bahwa keamanan iklim menjadi pertimbangan baik sebagai bagian dari aspek keamanan lingkungan hidup. Terdapat dua hubungan yaitu hubungan fisik dan dampak ekologis dari perubahan iklim. Perubahan iklim dapat menjadi faktor yang memperburuk atau memperluas permasalahan lingkungan hidup. Keseluruhan dampak akibat perubahan iklim salah satunya yaitu ketersediaan sumber air yang mengalami situasi kritis di suatu wilayah akibat perubahan musim, kualitas air dan risiko banjir. Berkurangnya ketersediaan air tidak hanya berdampak terhadap ketersediaan air minum, namun berdampak pula terhadap produksi pangan. Perubahan iklim menjadi ancaman terhadap keberlangsungan hidup manusia.
Lorraine Elliott (2015) memandang manusia dalam kondisi 'tidak aman' yang terdampak perubahan iklim. Elliott mengangkat wacana mengenai ketidakamanan manusia dan kerawanan yang dialami oleh kelompok masyarakat menghadapi perubahan iklim. Namun, sayangnya isu ini masih minim menjadi perdebatan keamanan iklim. Isu keamanan lingkungan hidup banyak mengangkat perubahan iklim yang lebih dipandang sebagai dampak yang multidimensi yang akan mencengkeram masyarakat dengan kapasitas adaptasi dan menciptakan instabilitas politik yang dapat berpotensi memunculkan kerusuhan, kekerasan komunal, radikalisasi politik dan memungkinkan terjadinya negara gagal.




Komentar

Postingan Populer