Dampak Neoliberal Menggoyang Supir Berpelat Kuning
Hari ini tidak akan bisa saya lupakan karena seru sekali. Kebetulan saya harus ke Jakarta kota karena ada agenda di siang hari, maka paginya saya menggunakan bis dan mendengar serta membaca berita online yang menyebutkan stasiun Sudirman saat itu penuh sesak karena banyak penumpang bertahan tidak ada taksi dan ojek yang beroperasi. Saya masih anteng dengan tulis menulis di laptop saya. Ketika beranjak siang benar saja suasana di Jalan Sudirman tampak sangat lengang tidak ada ojek online yang melintas, kalaupun ada taksi tidak menarik penumpang karena demo di senayan. Sebenarnya sudah beberapa hari ini isu ini memanas karena supir taksi merasa 'terganggu' dengan keberadaan transportasi publik dengan aplikasi internet. Saya melanjutkan perjalanan menggunakan busway.
Saat itu, saya mendengar keluhan warga dan teman-teman begini umumnya "ngapain sih supir taksi demo segala bikin macet", "ya wajar aja kita beralih ke transportasi aplikasi lebih murah sih", "ya harusnya angkutan umum (taksi, angkot) memperbaiki layanannya dong secara hari gini teknologi makin canggih". Kira-kira begitulah keluhan umumnya.
Saya tidak memungkiri, saya pun pegguna ojek online karena lebih murah, praktis dan dapat menembus kemacetan maka menghemat waktu (apalagi dulu tarifnya masih Rp 15 ribu, sekarang lumayan mahal itungannya per kilometer). Maka kehadiran moda transportasi berbasis aplikasi internet menjadi disukai karena terjangkau dan praktis sesuai dengan gadget yang umumnya dimiliki oleh masyarakat. Kecanggihan teknologi menjadi peluang bisnis yang menjanjikan. Namun, membawa implikasi bagi supir taksi dan angkutan umum (angkot maupun kopaja atau metromini) yang mengalami penurunan penghasilan karena penumpang berkurang tetapi kewajiban setoran tetap meningkat.
Hari ini demo masif terjadi maka saya mengalami kerugian agenda yang harusnya dilaksanakan terpaksa dibatalkan dan ditunda. Namun, pasti bukan saya saja, banyak yang lainnya yang menanggung kerugian akibat demo ini. Para supir taksi, tukang ojek ga bisa narik karena di-sweeping pasti mengalami kerugian juga. Apalagi disayangkan demonya ada tindakan anarkis. Memang kalau sudah jadi kumpulan massa bisa jadi bringas walaupun awalnya tidak berniat anarkis tapi provokasi sangat mudah menyulut emosi dan kemarahan yang tentunya malah semakin merugikan banyak pihak.
Tapi saya mencoba berempati. Mengapa? Terlepas banyak pertanyaan mengapa demo hari ini begitu masif atau dugaan ada yang menggerakkan, saya ingin berpikir positif saja. Tentu supir taksi yang demo mungkin dalam lubuk hatinya tidak ingin demo. Tapi terpaksa harus menyuarakan suara hatinya.
Ada dua permasalahan: kegagalan pemerintah menyediakan transportasi publik yang baik dan gurita neoliberal yang sulit untuk dibendung. Pertama, mohon maaf tanpa bermaksud menunjuk kesalahan, namun pemerintah selayaknya menyediakan sarana transportasi yang memadai. Kan pemerintah sudah menyediakan, moda busway juga sudah ditambah terus. Tapi belum cukup! Terobosan pemerintah masih kurang cepat dibanding swasta, maka terobosan itu berhasil direbut oleh pihak swasta.
Yang kedua, rezim kapitalis begitu radikal sehingga membuat negara lumpuh perannya di dalam publik. Bahkan kehadiran negara menjadi seolah-olah akibat implementasi neoliberal. Moda transportasi Uber di beberapa negara bermasalah kehadirannya, namun anehnya ko tetap ada. Pemerintah ga bisa melarang atau memberhentikan. Uber itu kapitalis banget deh, dia cuma menyediakan aplikasi, ga harus urus perizinan, ga harus urus KIR, ga harus menyediakan biaya perawatan kendaraan karena ditanggung oleh pemilik kendaraan. Ga lebih Uber itu seperti calo tapi berbasis teknologi. Para pemilik kendaraan merangkap supir Uber dapat dengan mudah mendapatkan penumpang melalui aplikasi tersebut. Begitu pula operasi ojek online kurang lebih sama. Saya sendiri belum pernah menggunakan Uber atau taksi online, yang konon katanya tarifnya jauh lebih murah dibanding taksi. Tapi coba Anda bayangkan, pengusaha taksi apa ga bete, udah susah urus izin, harus bayar pajak, menggaji karyawan plus melakukan perawatan kendaraan eh tiba-tiba nongol taksi yang ga pake izin terus merebut penumpang. Yang lebih ngenes ya sopir taksi, kelompok masyarakat ekonomi kecil yang paling menjerit dari keadaan ini.
Apalagi supir metromini atau kopaja, lebih tidak diperlakukan manusiawi karena sistem ini. Walaupun banyak kecelakaan yang melibatkan dua moda ini, namun tetap beroperasi. Pengemudinya sering ugal-ugalan. apa penyebabnya? ga lain kejar setoran. Kendaraan butut dipaksa untuk bayar setoran yang tinggi dengan upah yang seadanya. Coba bayangkan!
Tulisan ini membuka empati kita kepada para supir yang menjadi korban 'keganasan' kapitalisme dan ketiadaan pemerintah. Anda kelompok menengah yang menggunakan transportasi apikasi online, yang terkena dampak demo, jangan gampang menilai negatif, pahami dulu bagaimana rasanya jadi masyarakat kecil. Terjepit, tergusur dan tidak terakomodir di dalam sistem..ironis, menyedihkan..
Ironi berikutnya adalah tejadi penyerangan terhadap driver ojek online dan perusakan motor ojek online. Masyarakat yang ekonominya sama-sama sulit berantem sesamanya, tentu memang ini ada yang menggerakkan. Ini apa sih ko jadi supir taksi diadu dengan pengemudi ojek online? Kalau ini dibiarkan ironi yang sangat menyedihkan kelompok masyarakat kecil berseteru, sang kapitalis duduk manis, kelompok menengah atas mengeluh, kelompok masyarakat miskin frustasi, elit politik yang peduli pada kepentingannya. Maka dimanakah negara?
Hari ini demo masif terjadi maka saya mengalami kerugian agenda yang harusnya dilaksanakan terpaksa dibatalkan dan ditunda. Namun, pasti bukan saya saja, banyak yang lainnya yang menanggung kerugian akibat demo ini. Para supir taksi, tukang ojek ga bisa narik karena di-sweeping pasti mengalami kerugian juga. Apalagi disayangkan demonya ada tindakan anarkis. Memang kalau sudah jadi kumpulan massa bisa jadi bringas walaupun awalnya tidak berniat anarkis tapi provokasi sangat mudah menyulut emosi dan kemarahan yang tentunya malah semakin merugikan banyak pihak.
Tapi saya mencoba berempati. Mengapa? Terlepas banyak pertanyaan mengapa demo hari ini begitu masif atau dugaan ada yang menggerakkan, saya ingin berpikir positif saja. Tentu supir taksi yang demo mungkin dalam lubuk hatinya tidak ingin demo. Tapi terpaksa harus menyuarakan suara hatinya.
Ada dua permasalahan: kegagalan pemerintah menyediakan transportasi publik yang baik dan gurita neoliberal yang sulit untuk dibendung. Pertama, mohon maaf tanpa bermaksud menunjuk kesalahan, namun pemerintah selayaknya menyediakan sarana transportasi yang memadai. Kan pemerintah sudah menyediakan, moda busway juga sudah ditambah terus. Tapi belum cukup! Terobosan pemerintah masih kurang cepat dibanding swasta, maka terobosan itu berhasil direbut oleh pihak swasta.
Yang kedua, rezim kapitalis begitu radikal sehingga membuat negara lumpuh perannya di dalam publik. Bahkan kehadiran negara menjadi seolah-olah akibat implementasi neoliberal. Moda transportasi Uber di beberapa negara bermasalah kehadirannya, namun anehnya ko tetap ada. Pemerintah ga bisa melarang atau memberhentikan. Uber itu kapitalis banget deh, dia cuma menyediakan aplikasi, ga harus urus perizinan, ga harus urus KIR, ga harus menyediakan biaya perawatan kendaraan karena ditanggung oleh pemilik kendaraan. Ga lebih Uber itu seperti calo tapi berbasis teknologi. Para pemilik kendaraan merangkap supir Uber dapat dengan mudah mendapatkan penumpang melalui aplikasi tersebut. Begitu pula operasi ojek online kurang lebih sama. Saya sendiri belum pernah menggunakan Uber atau taksi online, yang konon katanya tarifnya jauh lebih murah dibanding taksi. Tapi coba Anda bayangkan, pengusaha taksi apa ga bete, udah susah urus izin, harus bayar pajak, menggaji karyawan plus melakukan perawatan kendaraan eh tiba-tiba nongol taksi yang ga pake izin terus merebut penumpang. Yang lebih ngenes ya sopir taksi, kelompok masyarakat ekonomi kecil yang paling menjerit dari keadaan ini.
Apalagi supir metromini atau kopaja, lebih tidak diperlakukan manusiawi karena sistem ini. Walaupun banyak kecelakaan yang melibatkan dua moda ini, namun tetap beroperasi. Pengemudinya sering ugal-ugalan. apa penyebabnya? ga lain kejar setoran. Kendaraan butut dipaksa untuk bayar setoran yang tinggi dengan upah yang seadanya. Coba bayangkan!
Tulisan ini membuka empati kita kepada para supir yang menjadi korban 'keganasan' kapitalisme dan ketiadaan pemerintah. Anda kelompok menengah yang menggunakan transportasi apikasi online, yang terkena dampak demo, jangan gampang menilai negatif, pahami dulu bagaimana rasanya jadi masyarakat kecil. Terjepit, tergusur dan tidak terakomodir di dalam sistem..ironis, menyedihkan..
Ironi berikutnya adalah tejadi penyerangan terhadap driver ojek online dan perusakan motor ojek online. Masyarakat yang ekonominya sama-sama sulit berantem sesamanya, tentu memang ini ada yang menggerakkan. Ini apa sih ko jadi supir taksi diadu dengan pengemudi ojek online? Kalau ini dibiarkan ironi yang sangat menyedihkan kelompok masyarakat kecil berseteru, sang kapitalis duduk manis, kelompok menengah atas mengeluh, kelompok masyarakat miskin frustasi, elit politik yang peduli pada kepentingannya. Maka dimanakah negara?
Komentar
Posting Komentar