Berawal dari Keresahan, Inisiatif Kawasan Konservasi Pesisir di Bukide Timur Terwujud
Tulisan ini dimuat di http://www.mongabay.co.id/2017/09/16/berawal-dari-keresahan-muncullah-kawasan-konservasi-pesisir-bukide-timur/ pada 16 September 2017
Ica Wulansari
Kawasan perairan Bukide Timur di
Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara kaya dengan berbagai sumberdaya ikan,
baik yang didominasi oleh ikan deho (sejenis ikan tongkol) dan ikan
malalugis (sejenis ikan pelagis kecil bernama latin Decapterus Macarellus).
Di pesisir Bukide Timur tinggal warga
sebanyak 475 jiwa, yang sekitar 75 persennya menggantungkan mata
pencariannya sebagai nelayan. Tak heran, hasil tangkapan laut lalu
menjadi harapan hidup masyarakat.
Namun karena kekayaannya pula, tak urung
warga dari luar dan dalam Bukide Timur turut menangkap ikan dengan
cara-cara yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan pukat.
Demikian pula dengan penggunaan alat kompresor yang berpotensi merusak
terumbu karang.
Padahal selama ini nelayan tradisional Bukide Timur hanya menggunakan alat pancing tradisional kail dan jaring (soma).
Seperti diungkap oleh Sekretaris Desa,
Albar Bulegalangi, kesulitan pelarangan karena selama ini masyarakat
Bukide Timur tidak memiliki aturan kampung yang disepakati bersama oleh
warga.
Keresahan ini lalu mendorong kelompok
nelayan di Bukide Timur, Kaderotang, untuk membentuk penerapan aturan
konservasi dan teknologi perikanan yang ramah lingkungan. Didalamnya
termasuk pelarangan alat tangkap yang merusak terumbu karang dan yang
menyebabkan punahnya anakan ikan.
Seperti mengutip kata-kata Makawowode
(47), Ketua MTK (Majelis Tua Kampung) Bukide Timur, upaya perlindungan
perairan sudah perlu dilakukan karena “jumlah tangkapan ikan semakin
menurun hasilnya.”
Insiatif masyarakat pesisir ini bersambut
dengan fasilitasi dari Konsorsium Nusa Utara (KNU), yang merupakan
kolaborasi perkumpulan Yapeka (Pemberdayaan Masyarakat dan Pendidikan
Konservasi Alam) dan Perkumpulan Sampiri, lewat dukunga pendanaan dari Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF).
Hasilnya, saat ini masyarakat Bukide
Timur telah berhasil menetapkan kawasan konservasi pesisir seluas 442,25
hektar. Terbagi menjadi tiga zonasi, yaitu zona inti yang terlarang
untuk penangkapan ikan (58,45 hektar); zona pemanfaatan (71,12 hektar);
dan zona perikanan berkelanjutan (258,41 hektar). Untuk diketahui, total
kawasan konservasi pesisir di Sangihe yang telah ditetapkan masyarakat
seluas 757,49 hektar meliputi area di pesisir Batuwingkung, Nusa, Bukide
dan Bukide Timur.
Untuk menerapkan aturan, warga
mengidentifikasikan bentuk-bentuk pelanggaran alat tangkap dan lokasi
tangkapan ikan yang dikategorikan dalam beragam pelanggaran ringan
hingga berat, serta berbagai bentuk sanksinya. Adapun penerapan sanksi
teringan berupa teguran, denda sebesar Rp500 ribu hingga Rp4 juta, kerja
sukarela hingga sampai penyitaan alat tangkap dan hasil tangkap.
Semua aturan tersebut lalu dirangkum
dalam Peraturan Kampung No. 02/2017 pada 27 Februari 2017, tentang
Pengelolaan Kawasan Konservasi Pesisir. Peraturan kampung ini pun lalu
disahkan oleh Bupati Kepulauan Sangihe.
Belajar dari Bukide Timur tentang Ketahanan Sosial
Ketahanan sosial merupakan modal penting
bagi masyarakat pesisir pantai maupun masyarakat kepulauan, untuk tetap
tangguh terhadap berbagai perubahan lingkungan maupun perubahan sosial.
Pada dasarnya, pengelola sumberdaya alam amat terkait erat antara
ekosistem dengan sistem sosial; yang diantaranya meliputi organisasi
sosial, teknologi, dan ekonomi (Rambo & Sajise, 1984).
Dalam ekosistem perikanan dibutuhkan
organisasi sosial yang baik untuk menjaga kesadaran masyarakat untuk
melakukan konservasi. Kelompok nelayan Kaderotang memiliki inisiatif
untuk membuat peraturan kampung mengenai konservasi kawasan pesisir (Marine Protected Areas) yang penekanannya pada kapasitas pengorganisasian dan kapasitas pembelajaran (Cinner et al, 2009).
Sistem sosial dalam sektor ekonomi
menjadi dorongan utama untuk membuat zonasi kawasan pesisir
berkelanjutan untuk masa sekarang dam masa depan. Penguatan organisasi
lalu didorong melalui tindakan kolektif komunitas untuk menerjemahkan
dan merespon segala bentuk perubahan terkait sosial dan ekologi.
Dalam mendorong ketahanan sosial, inisiatif dari akar rumput yang bersifat bottom-up pun didorong. Alih-alih insruksi top-down yang lebih banyak bersifat paksaan dan tidak memunculkan kesadaran diri, kelompok dan komunitas.
Lewat tindakan tersebut, ketahanan sosial
pun muncul lewat kesadaran kolektif dan tindakan partisipatif. Bentuk
pengorganisasian yang baik didorong untuk menyadari bahwa ketahanan
ekonomi merupakan hal utama dalam mempertahankan mata pencaharian yang
bergantung pada sumberdaya alam.
Kesadaran masyarakat pesisir Bukide Timur yang muncul tanpa intervensi pihak lain membuktikan
bahwa kelompok pesisir mampu menyadari potensi dirinya. Inisiatif
masyarakat lokal pun mendapatkan dukungan dari kapasitas organisasi
pemerintah dan masyarakat sipil (Keck & Sakdapolrak, 2013).
Pendampingan yang dilakukan menitikberatkan bahwa keberlanjutan zonasi
pesisir merupakan kebutuhan masyarakat.
Dalam hal pendampingan, warga Bukide
Timur difasilitasi lewat Konsorsium Nusa Utara (KNU), yang pada akhirnya
melahirkan Peraturan Kampung tentang pengelolaan kawasan konservasi
pesisir.
Peraturan tersebut pun tidak sembarangan
dibuat, tetapi mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
nomor PER.30/MEN/2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan
Konservasi.
Lebih lanjut, penggunaan teknologi pun
memiliki dampak dalam mendorong keberlanjutan. Masyarakat Bukide Timur
sepakat untuk menggunakan alat tangkap ramah lingkungan alih-alih yang
merusak terumbu karang dan tempat berpijah ikan.
* Ica Wulansari, penulis adalah Mahasiswa S-3 Sosiologi Universitas Padjadjaran, pemerhati dan pengamat isu lingkungan hidup dan sosial. Artikel ini merupakan opini penulis.
Komentar
Posting Komentar